عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Iman itu
tujuh puluhan cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (HR.
Muslim 35)
Hadits ini menjelaskan tentang keimanan, dimana keimanan itu
seperti pohon yang memiliki pokok dan cabang, seperti yang Allah sebutkan dalam
firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً
كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah
kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.”
(QS. Ibrahim [14]: 24)
Tentang hadits di atas, Imam Muslim juga meriwayatkan dari
jalur yang lain dengan nomor hadits yang sama, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
الإِيمَانُ
بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu enam puluhan
atau tujuh puluhan cabang; yang paling tinggi adalah ucapan ‘Laa ilaaha
illallaah’, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan
malu adalah salah satu cabang keimanan.”
Syaikh Abdurrahman bin
Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Hadits ini jelas, bahwa iman itu
mencakup ucapan lisan, amalan anggota badan, keyakinan-keyakinan, akhlak, menunaikan
hak Allah, dan berbuat baik kepada makhluk-Nya. Dalam hadits ini terkumpul
antara cabang iman yang paling tinggi yang menjadi pokoknya dan kaidahnya,
yaitu ucapan ‘Laa ilaaha illallaah’ yang mencakup keyakinan, penghambaan dan
keikhlasan; juga cabang yang paling rendah yaitu menyingkirkan tulang, duri,
dan setiap yang mengganggu di jalan… Cabang-cabang keimanan yang disebutkan
dalam hadits ini adalah seluruh syari’at agama, baik yang nampak maupun yang
tersembunyi. Dan hadits ini juga jelas menunjukkan bahwa iman itu bertambah dan
berkurang, sesuai dengan bertambahnya syari’at dan cabang-cabang keimanan ini
(pada diri seorang hamba), serta dengan disifati atau tidaknya seorang hamba
dengannya.” (At-Taudhihu wal Bayan Lisyajaratil Iman 25-26)
Beliau
juga berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan malu
(dalam hadits ini), -Allahu a’lam- karena dengan rasa malu inilah (pertanda)
hidupnya iman, dengan rasa malu seorang hamba meninggalkan setiap perbuatan
buruk, sebagaimana dengan rasa malu inilah terlaksana setiap akhlak yang baik.”
(At-Taudhihu wal Bayan Lisyajaratil Iman 26)
Baik,
selanjutnya kita akan lebih fokus pada poin malu yang merupakan bagian dari
keimanan.
Malu Adalah Akhlak yang
Mulia
Malu merupakan akhlak terpuji yang
hendaknya senantiasa dipelihara oleh setiap muslim, karena rasa malu bisa
menghalangi manusia dari perbuatan dosa dan bisa menjadikan manusia tetap
berada dalam perkara kebaikan. Inilah akhlak malu yang merupakan
bagian dari keimanan sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Oleh karena itulah rasa malu merupakan
sifat yang sangat terpuji yang hanya akan mendatangkan kebaikan, sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْـحَيَاءُ لَا يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ
“Malu
itu tidak mendatangkan apapun kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari 6117 dan Muslim
37)
Bahkan telah tetap dalam sebuah hadits bahwa malu adalah
akhlak Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَإنَّ خُلُقَ الْإِسْلاَمِ
الحَيَاءُ
“Sesungguhnya
setiap agama itu memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR. Ibnu
Majah no. 4182 dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’
2149)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah
bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ
النُّبُوَّةِ الْأُوْلَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya apa yang didapat oleh manusia dari perkataan
nabi yang terdahulu adalah jika kamu tidak malu, maka berbuatlah semaumu.” (HR.
Bukhari 6120)
Maka sudah menjadi keharusan bagi
setiap muslim untuk senantiasa berhias dengan rasa malu.
Malu Menghalangi Manusia Dari Perbuatan Dosa
Perbuatan
dosa dan maksiat menyebabkan
pelakunya terhina dan menderita, mendatangkan kemurkaan
Allah, serta menurunkan
kewibawaan seseorang di hadapan manusia. Seorang yang beriman, dengan
keimanannya akan memiliki rasa malu ketika ia melakukan dosa, sehingga ia akan
berpikir matang-matang sebelum berbuat hal tercela dan memperhitungkan akibat
buruk yang akan menimpa dirinya. Bahkan bisa jadi ia akan merasa malu pada dirinya sendiri apabila
melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukannya. Perhatikanlah
sabda rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:
وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ
أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Dosa adalah yang mengganjal di hatimu dan engkau tidak suka
apabila hal itu diketahui oleh manusia.” (HR. Muslim 2553)
Seorang mukmin akan merasakan ganjalan
dan rasa tidak nyaman dalam dirinya jika ia melakukan dosa, ia juga enggan jika
perbuatannya itu diketahui oleh manusia. Perasaan seperti ini muncul karena
adanya rasa malu dalam hatinya yang merupakan bagian dari keimanan.
Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman al-Bassam rahimahullah berkata: “Adapun keberadaan malu
sebagai bagian dari keimanan, maka sesungguhnya rasa malu seseorang akan
membuatnya menjauhi maksiat dan melaksanakan kewajiban-kewajiban syari’at.
Demikianlah pengaruh keimanan kepada Allah ta'ala jika telah memenuhi
hati seseorang, sesungguhnya iman akan selalu mencegah seseorang dari kemaksiatan
dan mengarahkannya kepada kewajiban-kewajiban. Maka rasa malu memiliki
kedudukan dalam iman dari segi pengaruh dan manfaatnya.” (Taudhihul Ahkam
min Bulughil Maram hal 374)
Malu Dalam Diri Manusia
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah
mengatakan bahwa sifat malu ada dua bentuk, yaitu:
Yang pertama
adalah malu yang merupakan sifat bawaan dan kebiasaan tanpa dibuat-buat, maka
hal itu adalah termasuk semulia-mulia akhlak yang Allah berikan kepada
seorang hamba yang ia berperilaku di atasnya. Karena inilah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الحَيَاءُ لَا يَأْتِيْ إِلَّا بِخَيْرٍ
“Malu itu tidaklah mendatangkan sesuatu
kecuali kebaikan.”
Sesungguhnya
malu mencegah dari perbuatan-perbuatan jelek dan kerendahan akhlak, serta
mengarahkan kepada akhlak-akhlak yang mulia lagi tinggi. Berdasarkan hal ini
maka malu merupakan tabiat keimanan. Telah diriwayatkan dari Umar radhiyallahu
'anhu bahwa beliau berkata:
مَنِ اسْتَحْيَى اِخْتَفَى، مَنِ اخْتَفَى
اِتَّقَى، مَنِ اتَّقَى وُقِيَ
“Siapa yang malu maka ia akan bersembunyi, siapa yang
bersembunyi berarti ia bertakwa, siapa yang bertakwa maka ia terjaga.”
Yang kedua adalah malu yang diusahakan karena
mengenal Allah, dan karena pengetahuannya tentang kebesaran-Nya dan
kedekatan-Nya dengan hamba-hambaNya, karena pengawasan-Nya kepadanya, dan
karena ilmu-Nya yang mengetahui setiap mata yang berkhianat dan apa-apa yang
disembunyikan di dalam hati. Maka ini adalah merupakan perangai iman yang paling
tinggi, bahkan hal ini adalah setinggi-tingginya bentuk ihsan.
(Jami’ul Ulum wal Hikam
hal 51)
Malu
yang Tidak pada Tempatnya
Malu yang tidak pada tempatnya adalah malu yang tercela,
dimana seharusnya seorang muslim tidak perlu merasa malu dalam hal ini. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam rahimahullah
berkata: “Malu itu tidak boleh menghalangi seseorang dari memperdalam ilmu
agama dan bertanya tentang sesuatu yang wajib untuk ditanyakan. Maka rasa malu
yang mencegah pelakunya dari melarang keburukan serta yang semisal dengannya,
ini bukanlah rasa malu yang sesuai syari’at, dan bukan termasuk bagian dari
keimanan. Tetapi ini adalah kelemahan, kehinaan dan kerendahan, yang sama
sekali tidak dipuji pelakunya.” (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram
hal 374)
Syaikh Nadhim Muhammad Sulthan hafidzahullah
berkata: “Adapun malu yang menyebabkan
pelakunya mengurangi hak-hak Allah, dan beribadah kepada Allah di atas kebodohan tanpa mau
bertanya terhadap urusan agamanya, dan mengurangi perbuatannya menunaikan
hak-hak Allah, dan hak-hak siapa saja yang meletakkan kepercayaan pada dirinya,
serta hak-hak kaum muslimin, maka ini adalah malu yang tercela, karena hal ini
adalah kelemahan dan
melemahkan.” (Qawa’id wa Fawa’id min Arba’in an-Nawawiyah 182)
Kesimpulan
Sampai di
sini jelaslah bahwa rasa malu yang terpuji akan membuat manusia selalu berada
dalam ketaatan kepada Allah; menjadikan seorang pemimpin rumah tangga selalu
menjaga keluarganya dari api neraka, menjadikan seorang muslimah selalu
berjilbab syar’i saat keluar rumah atau saat berada di hadapan laki-laki yang
bukan mahramnya dikarenakan malu menampakkan auratnya, membuat seorang muslim
senantiasa menuntut ilmu agamanya karena malu dengan ketidaktahuannya, hingga
ia malu untuk bermaksiat kepada Allah Sang Pencipta. Inilah malu yang merupakan
keimanan.
Sebaliknya,
malu yang menjauhkan seseorang dari agama Allah serta menghalanginya dari
ketaatan dan kebaikan adalah malu yang tercela dan bukan pada tempatnya. Maka
seorang laki-laki tidak boleh malu menuntut ilmu agama, tidak boleh malu menuju
masjid untuk shalat berjamaah, memelihara jenggot, meninggikan pakaiannya di
atas mata kaki, dan hal-hal lainnya yang merupakan kewajibannya sebagai seorang
muslim, dia tidak boleh malu melakukannya. Demikian pula seorang muslimah,
tidak boleh malu menuntut ilmu agama, tidak boleh malu mengenakan busana
muslimah yang syar’i, dan tidak boleh malu menjaga agamanya dan kehormatannya
sebagai seorang muslimah.
Bahkan seorang muslim dan muslimah harus merasa malu ketika
ia melakukan dosa dan kemaksiatan. Ia merasa malu untuk berjudi, minum minuman
keras, meninggalkan shalat, meninggalkan puasa Ramadhan, korupsi, mencuri,
berbohong, menipu, menuduh tanpa bukti, menampakkan aurat, berpacaran, bermain
dan mendengarkan musik, merokok, menonton sesuatu yang diharamkan, dan
perbuatan-perbuatan dosa dan keburukan lainnya.
Maka merupakan keimanan yang paling besar dan paling agung
adalah seseorang meninggalkan kesyirikan dan dosa-dosa besar serta berbagai
macam keburukan karena merasa malu kepada Allah. Karena ia sadar bahwa semua
nikmat yang telah dan sedang ia rasakan hanyalah berasal dari Allah, maka ia
merasa malu jika justru menggunakan nikmat yang berasal dari Allah untuk
mendurhakai-Nya dan membangkang perintah-Nya. Karena ia paham bahwa hal itu
adalah bentuk dari mendustakan nikmat-nikmat Allah yang amat banyak yang telah
ia terima. Allah subhanahu wa ta'ala
telah mengulang-ulangi sebuah ayat dalam surat ar-Rahman:
فَبِأَيِّ
آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka
nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Semoga
Allah mengaruniakan kepada kita ketakwaan dan rasa malu yang menjadikan kita
senantiasa berada di dalam kebaikan. Allahumma amin.
--------Abu Ibrohim Ari bin Salimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.