Di antara ajaran Islam dalam
bermuamalah dengan manusia adalah agar selalu berprasangka baik kepada orang
lain. Hal ini termasuk akhlak yang mulia, karena dengan kita berprasangka baik
kepada orang lain, maka kita akan menjaga diri dari mencari-cari keburukan dan
kesalahannya, juga menjaga diri dari membicarakan aibnya, serta tidak
menuduhnya dengan tuduhan dusta. Sehingga akan memberikan efek ketenangan dan
keamanan bagi hati serta menghindarkan timbulnya kebencian.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dustanya
perkataan.” (HR. Bukhari 5143 dan Muslim 2563)
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah
ketika menjelaskan tentang makna menjauhi prasangka buruk dalam hadits di atas menukil
ucapan Imam al-Khaththabi rahimahullah dan selainnya: “Maknanya adalah
meninggalkan pelampiasan dari sebuah persangkaan buruk yang bisa membahayakan
orang yang dicurigai, demikian pula persangkaan yang terus menetap di hati
tanpa bukti. Yang demikian itu karena prasangka yang hanya muncul di awal adalah
lintasan benak yang tidak mungkin bisa ditolak, dan yang tidak mungkin bisa
ditolak maka tidaklah dihitung sebagai dosa.” (Fathul Bari 13/625)
Kemudian Ibnu Hajar al-Asqalani juga
menukil ucapan Imam al-Qurtubi rahimahullah ketika menafsirkan makna
menjauhi prasangka dalam surat al-Hujurat ayat 12: “Makna prasangka di sini
adalah tuduhan tanpa ada sebab, seperti menuduh orang lain berbuat buruk tanpa
ada bukti yang nampak yang menunjukkan akan hal itu.” (Fathul Bari
13/625)
Prasangka Buruk Menyebabkan
Tajassus
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ
بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan
berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car kesalahan orang lain.”
(QS. al-Hujurat [49]: 12)
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr
hafidzahullah berkata dalam kitabnya Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis
Sunnah hal. 24: “Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menjauhi kebanyakan
dari prasangka, karena sebagian prasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Ayat
ini juga mengandung larangan berbuat tajassus. Tajassus adalah mencari-cari
kejelekan-kejelekan orang lain, dan perbuatan ini biasanya muncul akibat dari adanya
prasangka yang buruk.”
Kemudian masih di halaman yang sama,
beliau menukil ucapan Abu Hatim Ibnu Hibban al-Busti rahimahullah dalam
kitab Raudhatul ‘Uqala hal 133:
التَجَسُّسُ مِنْ شُعَبِ النِّفَاقِ، كَمَا أَنَّ
حُسْنَ الظَّنِّ مِنْ شُعَبِ الإِيْمَانِ، وَالعَاقِلُ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِإِخْوَانِهِ،
وَيَنْفَرِدُ بِغُمُوْمِهِ وَأَحْزَانِهِ، كَمَا أَنَّ الجَاهِلَ يُسِيْءُ الظَّنَّ
بِإِخْوَانِهِ، وَلَا يُفَكِّرُ فِيْ جِنَايَاتِهِ وَأَشْجَانِهِ
“Tajassus adalah cabang dari
kemunafikan, sebagaimana prasangka baik adalah cabang dari keimanan. Orang yang
berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya dan tidak ingin membuatnya gelisah
dan bersedih. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada
saudaranya, dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita.”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
'anhu pernah berkata:
مَا يَزَالُ الْمَسْرُوْقُ مِنْهُ يَتَظَنَّى حَتَّى
يَصِيْرَ أَعْظَمُ مِنَ السَارِقِ
“Orang yang
dicuri terus menerus berburuk sangka, hingga dosanya pun lebih besar daripada
pencuri.” (HR. Bukhari dalam al-Adabul Mufrad 1289, dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Shahihul Adabil Mufrad 1289)
Perhatikanlah ucapan sahabat
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu ini, bahwasanya dosa orang yang
dicuri bisa lebih besar daripada orang yang mencuri, yang demikian itu karena
orang yang dicuri ini terus-menerus menduga-duga buruk kepada orang lain tanpa
bukti yang jelas, hingga akhirnya pun ia terjatuh ke dalam dosa memata-matai, kemudian
membenci, bahkan bukan tidak mungkin akan berlanjut kepada dosa membicarakan
keburukan orang lain (ghibah), menuduh orang sembarangan, dan pertikaian. Semua
hal itu akan melemahkan persaudaraan di antara kaum muslimin. Sebagaimana hal
ini diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada lanjutan
hadits tentang prasangka buruk ini:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا،
وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
“Jauhilah prasangka buruk, karena
prasangka buruk adalah sedusta-dustanya perkataan, dan janganlah kalian
mencari-cari kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling membenci, dan
saling membelakangi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR.
Bukhari 6724)
Bahkan meskipun kita melihat atau
mengetahui ada saudara kita yang berbuat suatu keburukan menurut kita, maka
tetaplah berprasangka baik kepadanya. Jangan kita terburu-buru menghukuminya
dengan keburukan. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafidzahullah menukil
sebuah ucapan Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi rahimahullah dari
kitab al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285), bahwasanya beliau berkata:
إِذَا بَلَغَكَ عَنْ أَخِيْكَ شَيْءٌ تَكْرَهُهُ
فَالْتَمِسْ لَهُ العُذْرَ جُهْدَكَ؛ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ لَهُ عُذْراً فَقُلْ فِيْ
نَفْسِكَ: لَعَلَّ لِأَخِيْ عُذْراً لَا أَعْلَمُهُ.
“Apabila sampai kepadamu berita tentang
saudaramu sebuah perbuatannya yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mencarikan
udzur (alasan) untuknya. Apabila engkau tidak mendapatkan alasan untuknya, maka
katakanlah kepada dirimu sendiri: “Mungkin saudaraku itu punya alasan yang menjadikannya
boleh berbuat seperti itu yang aku tidak tahu.” (Rifqan Ahlas Sunnah bi
Ahlis Sunnah hal. 25)
Mencegah Prasangka Buruk
Orang Lain
Maka seorang muslim hendaknya selalu
berprasangka baik kepada saudaranya, dan itu termasuk bentuk menghormatinya. Bahkan
dalam Islam diajarkan tindakan mencegah prasangka buruk orang lain kepada kita.
Yaitu apabila ada hal-hal yang memungkinkan orang lain menjadi berprasangka
buruk kepada kita, hendaklah kita menjelaskan perkaranya.
Dari az-Zuhri rahimahullah,
ia berkata: Ali bin al-Husain radhiyallahu 'anhuma mengabarkan kepadaku,
bahwasanya Shafiyyah radhiyallahu 'anha istri Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bercerita kepadanya, bahwasanya ia pernah mendatangi
rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengunjungi beliau
sewaktu i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Maka
Shafiyyah radhiyallahu 'anha berbincang-bincang beberapa saat
dengan rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian ia pun bangkit
hendak pulang, maka rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun berdiri
mengantarkannya pulang. Ketika sampai di pintu masjid, tepatnya di sisi pintu
kamar Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, lewatlah dua orang sahabat dari
kaum Anshar, keduanya mengucapkan salam kepada rasulullah. Nabi pun berkata
kepada mereka: “Santai saja, ini adalah Shafiyyah binti Huyay.” Keduanya pun
berkata: “Subhanallah wahai Rasulullah.” -keduanya pun merasa sungkan-. Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنَ
الإِنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا
شَيْئًا
‘Sesungguhnya setan itu bergerak
pada diri manusia seperti aliran darah, dan aku khawatir setan sempat
melemparkan sesuatu yang buruk pada hati kalian berdua.’” (HR. Bukhari 2035 dan
Muslim 2175)
Demikianlah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam mencegah kemungkinan munculnya prasangka buruk dari orang
lain, beliau menjelaskan perkaranya. Karena bisa jadi setan membisik-bisikkan
keburukan kepada kedua sahabat tersebut, sehingga bisa jadi mereka akan
menyangka perempuan yang bersama Nabi itu bukan mahram beliau, akhirnya menjadi
sebab munculnya prasangka-prasangka yang buruk pada diri mereka.
Prasangka Buruk yang
Dibolehkan
Namun tidak semua persangkaan buruk
itu dilarang, terkadang boleh juga bagi kita berprasangka buruk kepada orang
lain ketika nampak ada tanda-tanda keburukannya. Imam al-Qurthubi rahimahullah
dalam kitab tafsir beliau ketika menjelaskan ayat ke 12 dalam surat al-Hujurat
berkata: “Yang membedakan antara prasangka buruk yang harus dijauhi dengan
prasangka buruk yang diperbolehkan yaitu; setiap yang belum diketahui tanda-tandanya
yang jelas atau sebab-sebabnya yang nampak, maka yang seperti ini wajib untuk
dijauhi berprasangka buruk terhadapnya. Yang demikian itu apabila orang yang
disangka adalah orang yang dikenal sebagai orang yang selalu menjaga diri dan
orang baik, serta dikenal sebagai orang yang amanah secara dzahir, maka
persangkaan buruk kepadanya dan menghianatinya adalah diharamkan. Sebaliknya -dibolehkan
berprasangka buruk-, bagi siapa yang dikenal oleh manusia sebagai orang yang
sering melakukan hal-hal yang mencurigakan dan orang yang terang-terangan
berbuat berbagai keburukan.”
Hal ini juga yang dikatakan oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam rahimahullah: “Adapun orang
yang dikenal sering berbuat keburukan dan selalu berbuat dosa, maka kita
berprasangka kepadanya sesuai yang nampak pada dirinya bagi kita. Maka tidak
membahayakan sebuah persangkaan buruk kepada orang yang nampak tanda-tanda
kejelekannya atau ciri-ciri keburukannya.” (Taudhihul Ahkam Min Bulughil
Maram hal. 317)
Demikian, sampai di sini pembahasan
kita. Kita berusaha selalu berprasangka baik kepada saudara kita, apalagi jika
kita mengenalnya sebagai orang yang baik, bahkan meskipun dia terjatuh ke dalam
kesalahan, kita tetap berusaha berprasangka baik kepadanya, mungkin saja dia
punya udzur yang kita tidak tahu. Sehingga kita tidak terjatuh ke dalam dosa
mencari-cari kesalahan orang lain. Manusia mana yang tidak pernah berbuat salah??
Sebagai seorang muslim, kita pasti tidak senang jika dicurigai dan dicari-cari
keburukannya oleh orang lain. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan
memperbaiki akhlak kita.
Abu Ibrohim Ari bin Salimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.