Marah merupakan salah satu tabiat
manusia yang dibawa sejak lahir. Ketika seorang manusia merasa terganggu atau
tersakiti, hatinya merasa ingin membalas dan berontak, yang kemudian diekspresikan
oleh wajahnya, dan ia ingin melampiaskan isi hatinya itu dengan lisan ataupun
anggota badannya. Kurang lebih demikianlah yang kita rasakan sebagai seorang
manusia ketika marah.
Marah yang tidak dikendalikan dengan
baik ketika muncul akan mengarah kepada keburukan dan bahkan kerusakan. Oleh
karena itu sebagai seorang muslim, hendaknya kita memahami bagaimanakah sikap
kita ketika marah agar tidak menjadi dosa dan keburukan atau bahkan kebinasaan.
Marah Adalah Sifat yang Harus
Diwaspadai
Ja’far bin Muhammad rahimahullah
berkata: “Marah adalah kunci dari segala keburukan.” Dan pernah dikatakan
kepada Ibnul Mubarak rahimahullah: “Jadikanlah untuk kami akhlak yang
baik dalam satu kata!” Maka beliau menjawab: “Meninggalkan marah.” (Jami’ul
Ulum wal Hikam 363)
Seseorang yang sedang dikuasai oleh
marah maka yang dipikirkan olehnya hanyalah memuaskan dirinya, yaitu bagaimana
ia bisa melampiaskan marahnya dan membalas dendam. Oleh karena itulah tak
jarang kita melihat orang yang sedang marah mata dan wajahnya berubah merah,
urat syarafnya nampak, bahkan ia bagaikan orang yang hilang akal, mulutnya
mengeluarkan kata-kata yang buruk dan kotor, bahkan tangan dan anggota badannya
nampak berontak dan ingin merusak. Seolah-olah ia tak peduli dengan akibat dari
perbuatannya itu. Demikianlah apabila marah telah menguasai seseorang, ia
bagaikan orang kesurupan yang tak bisa menguasai dirinya sendiri. Tak jarang
orang yang melampiaskan amarahnya terjatuh ke dalam perbuatan dosa yang
membinasakan. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memperingatkan kita dari kemarahan, bahkan menjadikannya sebagai wasiat.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم:
أَوْصِنِيْ، قَالَ: لَا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: لَا تَغْضَبْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Janganlah
kau marah!” Orang itu pun mengulang-ulangi permintaannya, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tetap bersabda: “Jangan marah!” (HR. Bukhari 6116)
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah
menjelaskan bahwa dalam hadits ini laki-laki tersebut mengulangi permintaannya
beberapa kali, dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun
mengulang-ulangi wasiat beliau, ini menunjukkan bahwa marah itu mengumpulkan
keburukan, sedangkan menjaga diri dari marah itu mengumpulkan kebaikan. (Jami’ul
Ulum wal Hikam 362)
Demikian pula di antara wasiat para
ulama mereka mengatakan: “Jauhilah marah, karena sesungguhnya marah itu bisa
merusak iman sebagaimana air perasan pohon yang pahit merusak madu, dan marah
itu adalah musuh bagi akal.” (Mukhtashar Minhajul Qasidin 225)
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
al-Bassam rahimahullah ketika menjelaskan hadits tersebut berkata:
“Makna ‘janganlah marah’ ada dua: pertama yaitu Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam mewasiatkan orang tersebut untuk melakukan sebab-sebab
yang mengharuskannya berakhlak baik, berupa kelemahlembutan, tidak
tergesa-gesa, rasa malu, menahan diri, mencegah keburukan, memaklumi,
memaafkan, menahan amarah dan semisalnya, karena sesungguhnya jiwa itu apabila
berperilaku dengan akhlak-akhlak ini dan menjadikannya kebiasaan, maka
dengannya akan tercegahlah kemarahan ketika muncul sebab-sebabnya. Yang kedua
yaitu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewasiatkan
kepadanya agar tidak melakukan konsekuensi marah ketika muncul, bahkan lawanlah
dirinya untuk meninggalkan pelampiasannya dan meninggalkan kehendak kemarahan
itu, karena sesungguhnya marah itu ketika menguasai anak Adam maka marah itulah
yang akan mengendalikan dirinya dalam berbuat dan meninggalkan sesuatu. (Taudhihul
Ahkam min Bulughil Maram 302)
Marah Adalah Lawan dari Sabar
Seseorang yang bisa menahan marah
ketika muncul sebab-sebabnya -termasuk ketika mendapat musibah- maka itu
menunjukkan bahwa ia memiliki sifat yang mulia, yaitu sabar. Bahkan kesabaran
yang dimiliki oleh seseorang akan mendatangkan kecintaan dan keridhaan Allah subhanahu
wa ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ إِذَا
أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ
فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya apabila Allah mencintai
suatu kaum, maka Allah akan mengujinya. Maka barangsiapa ridha; Allah pun
meridhainya, dan barangsiapa marah; maka Allah pun murka kepada-Nya.” (HR.
at-Tirmidzi 2396 dan Ibnu Majah 4031, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam
Shahihut Targhib wat Tarhib 3407)
Marah yang terpuji
Tidak semua marah itu adalah buruk,
ada juga marah yang terpuji, yaitu marah karena Allah, marah yang muncul ketika
syariat Allah di langgar, dicela atau dihinakan. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam adalah teladan yang terbaik bagi kita.
مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا
مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ، وَمَا
انْتَقَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلاَّ أَنْ
تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهِ فَيَنْتَقِمَ للهِ بِهَا
“Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapkan pada dua pilihan melainkan beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya selama bukan merupakan dosa, dan apabila itu dosa maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya. Tidaklah beliau membalas karena dirinya, kecuali apabila kehormatan Allah subhanahu wa ta’ala dilanggar, maka beliau marah karenanya.” (HR. Bukhari 3560 dan Muslim 2327)
Maka sebagai seorang muslim kita harus
memiliki kecemburuan terhadap agama kita. Hendaknya kita marah dan tidak ridha
apabila kita menyaksikan sebuah maksiat, kita membenci perbuatan dan pelakunya,
bahkan kita pun membenci diri kita sendiri bila kita melanggar perintah Allah
atau menerjang larangan-Nya. Oleh karena itulah kita harus membenci orang-orang
kafir, karena mereka telah melakukan sebesar-besar kedurhakaan kepada Allah 'azza
wa jalla, yaitu perbuatan syirik dan kekufuran.
Dengan inilah Allah 'azza wa jalla
mensifati para Sahabat Nabi radhiyallahu 'anhum dengan Firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ
اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad Rasulullah dan
orang-orang yang bersamanya (para sahabat), mereka adalah orang-orang yang
keras terhadap orang-orang kafir dan saling berkasih sayang terhadap
orang-orang mukmin.” (QS. al-Fath: 29)
Inilah marah yang baik, yaitu marah
karena Allah ta'ala, marah ketika syari’at Islam dilanggar. Dengan rasa
kemarahan inilah seorang muslim akan terdorong untuk meninggalkan maksiat dan
mengingkari sebuah perbuatan dosa. Bahkan ia akan termotivasi untuk melakukan
amar ma’ruf nahi mungkar. Akan tetapi hendaknya seorang muslim ketika beramar
ma’ruf terhadap saudaranya agar melandasinya dengan rasa belas kasihan padanya,
yaitu rasa tidak tega apabila saudara kita itu jatuh ke dalam siksa Allah 'azza
wa jalla. Sehingga perasaan seperti ini akan membawa kepada sikap hikmah
dalam berdakwah dan tetap dalam koridor yang telah diatur oleh Islam dalam
beramar ma’ruf nahi munkar.
Keutamaan Menahan Marah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ
قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ
“Barangsiapa menahan marah padahal ia
mampu melampiaskannya, maka Allah 'azza wa jalla akan memanggilnya di
hadapan seluruh makhluk pada hari Kiamat kelak, kemudian Allah mempersilahkannya
untuk memilih di antara bidadari yang ia sukai.” (HR. Abu Dawud 4777, dinilai hasan oleh Syaikh
al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 2753)
Namun agama Islam pun memaklumi
bahwasanya marah adalah tabiat manusia yang dibawa sejak lahir yang hampir tak
mungkin lepas darinya. Maka Islam pun memberi tenggang waktu selama tiga hari
bagi orang yang berselisih hingga tak saling tegur sapa, karena masih belum
bisa menghilangkan kemarahannya.
عَنْ أَبِيْ أَيُّوبَ
الأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: لَا
يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ
فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِيْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
Dari
Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan
saudaranya lebih dari tiga hari; keduanya bertemu namun yang ini berpaling dari
satunya dan yang satunya juga berpaling darinya, dan yang paling baik di antara
keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.” (HR. Bukhari 6077 dan Muslim
2560)
Kiat
Meredam Amarah
Upaya
meredam amarah bukanlah hal yang mudah, butuh kekuatan iman dan kesabaran yang
tinggi. Oleh karena itulah bagi orang-orang yang menahan amarahnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam katakan:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ،
إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang kuat yang sejati bukanlah dengan
memenangkan pergulatan, namun orang kuat sejati ialah yang mampu mengendalikan
dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari 6114 dan Muslim 2609)
Berikut
ini beberapa kiat yang semoga bisa membantu kita untuk meredam marah ketika
muncul sebab-sebabnya:
1.
Meyakini apa
yang terjadi pada kita adalah Takdir Allah ta'ala
Ketika
kita marah, hendaklah kita mengingat bahwa apapun penyebab kemarahan kita, itu
adalah sebuah takdir yang telah Allah tetapkan yang tidak akan bisa ditolak.
Sehingga kita lebih menganggapnya sebagai sebuah ujian hidup, yang apabila kita
bisa mensikapinya dengan baik dan bersabar maka akan berbuah pahala yang banyak.
2.
Diam dan tidak
tergesa-gesa
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَإِذَا غَضِبَ
أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Apabila seseorang di antara kalian marah maka diamlah.” (HR.
Ahmad 2136, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ish
Shagir 4027)
Diam
ketika marah baik lisan ataupun anggota badan, akan menghindarkan seseorang
dari kata-kata dan perbuatan yang bisa berakibat buruk, sehingga dengan diam
seseorang akan selamat dari berbagai macam keburukan akibat kemarahannya.
Demikian pula hendaknya kita tidak tergesa-gesa dalam bertindak, dan lebih
memilih untuk bersikap sabar dan menenangkan diri, karena hal itu juga akan
menghindarkan kita dari keputusan yang belum matang dan keliru. Bahkan sikap
tidak tergesa-gesa dalam bertindak merupakan sifat orang-orang yang cerdas dan
berhati-hati, dan sebaliknya justru ketergesa-gesaan itu berasal dari setan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الأَنَاةُ مِنَ اللهِ
وَالعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sikap
berhati-hati itu berasal dari Allah, sedangkan sikap tergesa-gesa itu berasal
dari setan.” (HR. at-Tirmidzi 2012, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihut
Targhib wat Tarhib 1572)
3.
Mengingat
kerusakan marah
Hendaknya
ketika kita marah segeralah untuk mengingat akibat buruk dari melampiaskan
amarah. Cukuplah bagi kita pelajaran tentang betapa banyak orang yang menyesal
setelah melampiaskan kemarahannya. Ada yang kelewatan mencerai istrinya,
memukul orang bahkan membunuhnya, merusak barang milik orang lain, merusak
hubungan persaudaraan dan pertemanan, dan keburukan lainnya. Ketika hal ini
terjadi, biasanya seseorang baru tersadar dengan kesalahan dan
ketergesa-gesaannya itu setelah marahnya meredam. Akhirnya ia pun benar-benar
menyesal.
4.
Mengingat
keutamaan menahan marah
Sebagaimana
telah kita ketahui bahwa marah adalah sumber dari berbagai macam keburukan,
maka menahan amarah adalah sumber dari banyak kebaikan dan mencegah dari banyak
keburukan, bahkan di akhirat kelak dijanjikan oleh Allah dengan bidadari surga.
Dengan mengingat keutamaan ini maka akan terkikislah perasaan marah itu.
5.
Berdoa minta
perlindungan kepada Allah dari setan
Suatu
ketika pernah ada dua orang yang bertengkar di sisi Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam, kemudian salah satunya marah dan mencela temannya dengan wajah
yang merah, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لأَعْلَمُ
كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ
مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Sungguh
aku mengetahui ada sebuah kalimat yang apabila ia mengucapkannya niscaya akan
hilanglah kemarahannya.” Kalaulah dia mengucapkan “A’uudzubillaahi minasy
syaithaanirrajiim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk).” (HR. Bukhari 6115 dan Muslim 2610)
6.
Mengubah
posisi
عَنْ أَبِى ذَرٍّ
قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَنَا: إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ
وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلاَّ
فَلْيَضْطَجِعْ
Dari
Abu Dzar radhiyallahu 'anhu ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam berkata kepada kami: “Apabila kalian marah sedangkan ia
sedang berdiri maka hendaklah ia duduk, bila marahnya telah hilang (maka
Alhamdulillah -penj.), namun bila marahnya belum hilang maka
berbaringlah.” (HR. Abu Dawud 4784 dan Ahmad 21348 dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir 694)
Maknanya
bahwa orang yang berdiri adalah bentuk bersiap-siap untuk membalas dendam,
adapun duduk maka ia bentuk kurangnya persiapan untuk membalas dendam, adapun
berbaring adalah bentuk posisi paling jauh dari kemungkinan untuk membalas
dendam. Yang jelas perkaranya adalah menjauhi keinginan untuk membalas dendam. (Jami’ul Ulum wal Hikam 365)
7.
Menjauh dari
tempat kejadian
Seorang
yang marah apabila tetap di tempatnya, biasanya ia akan selalu memikirkan
bagaimana melampiaskan kemarahannya, karena ia masih melihat bekas-bekas
penyebab kemarahannya itu. Maka hendaknya seorang yang marah untuk menjauh dari
tempat kemarahannya, sehingga akan teralihkan perhatiannya pada tempat dan
suasana yang baru. Dengan hal ini diharapkan ia akan segera melupakan
kemarahannya tersebut.
Tentang
hal ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:
“Banyak orang melakukan hal ini, yaitu ketika seseorang marah diapun keluar
dari rumahnya, sehingga tidak terjadi sesuatu yang akan ia benci setelah
kemarahannya reda.” (Syarh Riyadush Shalihin hal. 208)
Sampai
di sini, jelaslah bahwa menahan amarah adalah akhlak yang terpuji. Maka kita
akhiri pembahasan ini dengan menyimak nasehat dari Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah kepada kita berikut ini. Beliau berkata: “Sesungguhnya
agama Islam melarang dari akhlak-akhlak yang buruk, berdasarkan hadits
‘Janganlah engkau marah’. Sedangkan larangan dari akhlak yang buruk
mengharuskan perintah untuk berakhlak baik, maka biasakanlah dirimu untuk
bersabar menahan diri dan tidak marah. Sungguh dahulu pernah ada seorang
pedalaman Arab menarik selendang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
hingga menimbulkan bekas di leher beliau, tetapi kemudian beliau shallallahu
'alaihi wa sallam hanya menoleh kepadanya dan tertawa (HR. Bukhari
6088 dan Muslim 1057). Padahal kalau seandainya ada seseorang yang melakukan
hal ini kepada orang lain pasti minimalnya ia akan marah kepadanya. Maka
hendaknya engkau untuk bersabar sebisa mungkin, hingga hatimu pun merasa
santai, dan engkau pun bisa menjauh dari penyakit yang membawa bencana karena
sebab marah, seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan yang semisalnya. Allahul
Musta’an.” (Syarh Riyadush Shalihin hal. 208)
Demikianlah
pembahasan tentang marah ini, semoga Allah melindungi kita dari keburukan yang
diakibatkan olehnya. Hendaknya kita berusaha untuk terus memperbaiki diri,
sehingga semoga Allah subhanahu wa ta'ala selalu mengaruniakan kepada
kita akhlak yang baik dan menjauhkan kita dari akhlak yang buruk.
Abu Ibrohim Ari bin Salimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.