عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا فِيْ النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ )) [متفق عليه: ب
6477، م 2988]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada seorang
hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang belum jelas (apakah itu baik
atau buruk), sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih
jauh daripada jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari 6477 dan Muslim 2988)
Lisan merupakan salah satu anggota badan yang memiliki
banyak bahaya jika tidak dikontrol dengan baik. Hadits ini menjelaskan salah
satu bahaya besar lisan yang harus kita waspadai, yaitu ketika seseorang
berucap tanpa ilmu, tidak jelas baginya apakah ucapannya itu baik ataukah
buruk. Sebuah ucapan yang mudah saja diucapkan oleh lisan, namun ternyata
berakibat sangat fatal dan mendapat hukuman yang sangat berat.
Karena memang
ucapan lisan bisa menjadi penyebab seseorang masuk ke dalam neraka, sebagaimana
pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu dalam hadits yang lain:
وَهَلْ
يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ
حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ.
“Tidaklah manusia tersungkur di atas
wajah-wajah mereka di dalam neraka -atau di atas hidung-hidung mereka-
melainkan disebabkan oleh lisan-lisan mereka.” (HR. at-Tirmidzi 2616, dinilai
shahih lighairihi oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihut
Targhib wat Tarhib 2866)
Kisah dalam hadits berikut ini bisa kita jadikan sebagai
contoh tentang ucapan lisan yang sangat berbahaya bagi pelakunya, yang bisa
menggelincirkannya ke dalam neraka hanya karena sebuah ucapan yang sedikit:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bercerita:
كَانَ
رَجُلاَنِ فِى بَنِى إِسْرَائِيلَ مُتَآخِيَيْنِ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ
وَالآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِى الْعِبَادَةِ فَكَانَ لاَ يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى
الآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ أَقْصِرْ. فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ
فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ! فَقَالَ: خَلِّنِى وَرَبِّى، أَبُعِثْتَ عَلَىَّ
رَقِيبًا؟ فَقَالَ: وَاللَّهِ لاَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لاَ يُدْخِلُكَ
اللَّهُ الْجَنَّةَ. فَقُبِضَ أَرْوَاحُهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ
الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ: أَكُنْتَ بِى عَالِمًا أَوْ كُنْتَ
عَلَى مَا فِى يَدِى قَادِرًا؟ وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ
الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِى. وَقَالَ لِلآخَرِ: اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ. قَالَ
أَبُو هُرَيْرَةَ: وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ
دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ.
“Dahulu ada dua orang laki-laki bersaudara dari kalangan
Bani Israil, salah satunya suka berbuat dosa sedangkan yang satunya rajin
beribadah. Yang rajin beribadah ini selalu melihat saudaranya berbuat dosa,
hingga dia pun berkata: ‘Berhentilah berbuat dosa!’. Sampailah pada suatu hari
dia mendapatinya sedang melakukan perbuatan dosa, dia pun kembali berkata:
‘Berhentilah berbuat dosa!’. Ternyata saudaranya menjawab: ‘Biarkan saja aku
(ini adalah urusanku) dengan Rabbku! Apakah kamu diutus sebagai pengawas bagi
diriku?' Maka (karena marah) yang rajin beribadah itu berkata kepadanya: ‘Demi
Allah, Allah tidak akan mengampunimu' -atau dia mengatakan-, 'Allah tidak akan
memasukkanmu ke dalam surga'. Maka keduanya dicabut nyawanya oleh Allah, dan
keduanya pun berkumpul di hadapan Allah Rabb semesta alam. Allah berfirman
kepada yang rajin beribadah: ‘Apakah kamu tahu tentang Aku? Atau kamu punya
kuasa atas apa yang ada di TanganKu?’ Dan kepada yang suka berbuat dosa itu
Allah berfirman: ‘Pergi dan masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku!’,
sedangkan untuk yang rajin beribadah Allah berfirman (kepada para malaikat):
‘Bawalah dia masuk ke dalam neraka’.” (HR. Abu Dawud 4901, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam
Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud 4901)
Cerita dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini
menunjukkan betapa beratnya hukuman bagi siapa saja yang berkata atas nama
Allah tanpa ilmu. Padahal orang tadi adalah orang yang rajin beribadah, namun
ia telah mendahului Allah dalam keputusan-Nya. Siapa yang bisa memastikan
seseorang itu masuk surga ataupun neraka tanpa dalil yang jelas, sedangkan
surga dan neraka adalah milik Allah?? Hanya Allah lah yang berhak
menentukannya.
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah dalam Aqidah
Thahawiyahnya mengatakan:
وَلَا
نُنَزِّلُ أَحَدًا مِنْهُمْ جَنَّةً وَلَا نَارًا
“Kami tidak memastikan seorangpun dari kaum muslimin masuk
surga ataupun neraka.”
Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi rahimahullah
menjelaskan ucapan beliau di atas: “Beliau memaksudkan bahwa kita tidak
mengatakan terhadap orang tertentu (individu) dari kaum muslimin bahwa dia
termasuk penghuni surga atau penghuni neraka, kecuali orang yang telah
dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa dia
termasuk penghuni surga; seperti sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga radhiyallahu
'anhum.” (Syarhul Aqidah ath-Thahawiyah hal. 374)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafidzahullah berkomentar:
“Kita tidak boleh memastikan seorangpun, betapapun orang itu sangat shalih dan
sangat bertakwa, kita tidak mengatakannya pasti masuk surga, karena kita tidak
tahu masalah ghaib. Kita juga tidak boleh memastikan seorangpun dari kaum
muslimin masuk neraka, meskipun ia adalah orang-orang yang banyak berbuat dosa,
kita tidak boleh menghukuminya pasti masuk neraka, karena kita tidak tahu
bagaimana dia menutup amalannya dan bagaimana keadaannya ketika ia meninggal
dunia. Ini (adalah hukum) bagi setiap individu kaum muslimin.” (Syarhul
Aqidah ath-Thahawiyah hal. 374)
Maka kisah di atas mengandung rambu-rambu dan peringatan
keras bagi para da’i atau orang-orang yang berbicara masalah agama tanpa memiliki
ilmu tentangnya. Berbicara tanpa ilmu bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam
neraka sejauh antara timur dan barat.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Hujurat [49]: 1)
Ini baru salah satu dosa lisan, masih banyak dosa-dosa
lain yang disebabkan oleh lisan, semisal tuduhan palsu, persaksian palsu,
mengadu domba, berdusta, menipu, mencela, mengolok-olok, dan selainnya.
Dari sinilah kita mengetahui makna ucapan Imam Bukhari tentang
pentingnya berilmu sebelum berkata dan berbuat, yang dibawakan oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di awal kitab beliau al-Ushuluts
Tsalatsah. Imam Bukhari rahimahullah berkata:
بَابُ: العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ
وَالعَمَلِ
“Bab: Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal.”
Oleh karena itulah hendaknya kita berusaha bagaimana
menjaga lisan kita agar hanya ucapan-ucapan yang baik saja yang keluar darinya,
atau jika kita merasa bahwa hal ini susah dilakukan maka diamnya kita dan
menahan diri dari berbicara adalah lebih baik, sebagaimana yang disabdakan oleh
Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari 6475 Muslim
47)
Kesungguhan Para Ulama dalam Menjaga
Lisan
Berikut ini adalah perkataan-perkataan yang telah
diriwayatkan dari para ulama kaum muslimin tentang bagaimana usaha mereka dalam
menjaga lisan-lisan mereka, yang kami ambil dari kitab Hayatus Salaf Bainal
Qaul wal ‘Amal di bab Menjaga Lisan, karya Syaikh Ahmad bin Nashir
ath-Thayyar hafidzahullah, seorang Imam dan Khatib di masjid Jami’
Abdullah bin Naufal di Zulfa, Saudi Arabia:
Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu
pernah berkata:
وَالَّذِيْ لَا إِلَهَ غَيْرُهُ مَا عَلى
ظَهْرِ الْأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ أَحْوَجُ إِلَى طُوْلِ سِجْنٍ مِنْ لِسَانٍ
“Demi Dzat yang tidak ada tuhan selain-Nya, tidak ada
sesuatupun di atas muka bumi ini yang lebih perlu untuk dipenjara dalam waktu
yang lama melebihi lisan.” (hal. 597)
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:
مَنْ لَمْ يَرَ أَنَّ كَلَامَهُ مِنْ
عَمَلِهِ، وَأَنَّ خُلُقُهُ مِنْ دِيْنِهِ، هَلَكَ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ
“Barangsiapa tidak memandang bahwa ucapannya adalah
bagian dari amalannya, dan bahwa akhlaknya merupakan bagian dari agamanya, maka
ia akan binasa tanpa ia sadari.” (hal. 597)
Beliau juga mengatakan:
أُنْذِرُكُمْ فُضُوْلَ الكَلَامِ،
بِحَسْبِ أَحَدِكُمْ مَا بَلَغَ حَاجَتَهِ
“Aku memperingatkan kalian atas banyak berbicara,
hendaknya kalian itu mencukupkan berbicara sesuai keperluannya saja.” (hal.
597)
Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata:
الْمُؤْمِنُ إِذَا أَرَادَ الكَلَامَ
نَظَرَ: فَإِنْ كَانَ كَلَامَهُ لَهُ تَكَلَّمَ، وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ أَمْسَكَ
عَنْهُ
“Seorang mukmin itu jika ingin berbicara, ia
memeriksanya; jika ucapannya bermanfaat maka ia pun berebicara, namun bila
ucapannya mengandung bahaya ia pun menahan ucapannya.” (599)
Shalih bin Abi Akhdhar berkata: Aku pernah berkata kepada
Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah: “Berilah aku Wasiat.” Beliau berkata:
“Sedikitkanlah bicaramu.” (hal. 602)
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Dahulu
sahabat-sahabat kami, kami hafal apa saja ucapannya dari Jum’at ke Jum’at
berikutnya.” (hal. 602)
Al-Hasan bin Hay rahimahullah berkata: “Sungguh
aku mengetahui ada seorang laki-laki yang selalu menghitung ucapannya.”
Orang-orang pun mengetahui bahwa ternyata laki-laki yang diceritakannya itu
adalah dia sendiri. (hal. 602)
Artha`ah bin Mundzir rahimahullah berkata:
“Seorang laki-laki belajar untuk diam selama empat puluh tahun dengan cara
memasukkan kerikil ke dalam mulutnya, tidaklah ia melepasnya kecuali ketika
makan, minum, dan tidur.” (hal. 602)
Sa’dun ar-Razi bercerita: Aku pernah bersama Hatim
al-Asham rahimahullah dan ia berbicara, namun hanya sedikit ucapannya,
maka dikatakanlah kepadanya: “Bukankah tadi kamu berbicara, sehingga
orang-orang bisa mengambil manfaat dari ucapanmu?” Maka ia berkata:
إِنِّيْ لَا أُحِبَّ أَنْ أَتَكَلَّمَ
بِكَلِمَةٍ قَبْلَ أَنْ أَسْتَعِدَّ جَوَابَهَا لِلَّهِ، فَإِذَا قَالَ اللهُ لِيْ
يَوْمَ القِيَامَةِ: لِمَ قُلْتَ كَذَا؟ قُلْتُ: يَا رَبِّيْ لِكَذَا.
“Sungguh aku tidak suka untuk berkata satu kata pun
sebelum aku menyiapkan jawabannya di hadapan Allah. Jika Allah bertanya kepadaku
di hari Kiamat, ‘Kenapa engkau berkata seperti itu?’ Aku akan menjawab, ‘Ya
Rabb-ku, karena untuk ini...’” (hal. 604)
Bisyr bin Hasan bercerita: “Ada seseorang yang mendekat
kepada Ibnu ‘Aun rahimahullah, maka beliau pun berkata: ‘Kalaulah
ucapanku tidak ditulis (oleh malaikat), aku pasti sudah berbicara.”
(hal. 603)
Itulah di antara riwayat dari para ulama kita yang beliau
pilihkan dari riwayat-riwayat yang valid insyaallah. Semoga Allah
merahmati mereka semuanya para ulama kita Salafush Shalih, sungguh mereka telah
mencontohkan keteladanannya kepada kita semuanya. Semoga kita bisa meneladani
para ulama kita rahimahumullah. Semoga Allah menjaga lisan-lisan kita,
dan memudahkan kita untuk bisa selalu berkata yang baik atau diam.
Abu Ibrohim Ari bin Salimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.