Sesungguhnya
Allah subhanahu wa ta'ala telah mewajibkan melalui banyak ayat al-Qur’an
agar kita selalu bertakwa. Di antaranya adalah Firman-Nya:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr [59]: 18)
Maka ketahuilah
bahwa ketakwaan yang paling takwa dan perintah Allah yang paling agung
adalah mentauhidkan-Nya, sedangkan larangan Allah yang paling besar dan
paling berbahaya adalah kesyirikan. Bahkan masalah inilah yang menjadi
tugas seluruh Nabi dan Rasul, yaitu mengajak manusia agar bertauhid dan
meninggalkan kesyirikan.
Allah ta'ala
telah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا
فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت
“Dan
sungguh Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan):
‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut (berhala).’” (QS. an-Nahl [16]:
36)
Melalui ayat
ini kita mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta'ala terus-menerus
mengutus Rasul-Nya dengan tugas yang sama dan sangat penting lagi paling utama,
yaitu agar manusia mentauhidkan Allah dan menjauhi kesyirikan. Menunjukkan
masih ada saja manusia-manusia yang terjatuh ke dalam kesyirikan, sejak zaman
Rasul yang pertama hingga Rasul yang terakhir. Oleh karena itulah, jangan
sampai kita merasa aman dari kesyirikan, karena bisa saja kita pun terjatuh ke
dalamnya. Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman tentang bahaya
kesyirikan:
إِنَّهُ مَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ
النَّارُ
“Sesungguhnya siapa saja yang berbuat kesyirikan, maka pasti Allah
mengharamkan baginya surga, dan tempatnya ialah neraka.” (QS. al-Maidah
[5]: 72)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah bersabda:
مَنْ لَقِىَ اللَّهَ
لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ
دَخَلَ النَّارِ
“Barangsiapa
bertemu Allah (meninggal dunia) tanpa pernah berbuat kesyirikan sedikitpun maka
ia masuk surga, dan barangsiapa bertemu Allah pernah berbuat kesyirikan maka ia
masuk neraka.” (HR. Muslim 93)
Maka perkara
tauhid dan syirik adalah perkara yang sangat amat besar sekali. Karena masalah ini
adalah masalah surga dan neraka. Sekali saja seseorang berbuat kesyirikan
dan tidak bertaubat, ancamannya adalah kekekalan di dalam neraka. Sehingga
sudah menjadi kewajiban yang paling pertama dan paling utama bagi kita, untuk
mempelajari tauhid serta yang menjadi lawannya yaitu syirik. Insyaallah melalui
tulisan ini kita akan berusaha memahami apa itu tauhid dan apa itu syirik.
Tauhid adalah
lawan bagi syirik. Ketika kita mempelajari tauhid dan memahaminya, maka kita
juga akan mempelajari tentang kesyirikan dan bentuk-bentuknya. Syirik adalah
menjadikan selain Allah seperti Allah, atau sebagaimana yang diungkapkan oleh
Syaikh Shalih al-Fauzan hafidzahullah dalam Kitabut Tauhid karya
beliau hal. 9, yaitu menjadikan tandingan bagi Allah dalam kekhususan
perbuatan-Nya dan dalam peribadahan kepada-Nya.
Nah, agar
kita lebih memahami apa dan bagaimana kesyirikan itu, maka kita perlu memahami
tauhid terlebih dahulu. Semoga penjelasan berikut ini bisa dipahami.
Apabila kita
membaca kitab-kitab tentang akidah (keyakinan) Islam yang telah ditulis oleh
para ulama, maka kita akan mendapati bahwa para ulama memaknai tauhid dan
membaginya menjadi tiga. Tauhid adalah mengesakan Allah ta’ala (meyakini
hanya Allah lah satu-satunya), dalam perbuatan-Nya, dalam peribadahan
kepada-Nya, dan dalam Nama-namaNya yang indah serta Sifat-sifatNya yang mulia.
Sebagaimana
hal ini dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah:
وَنُؤْمِنُ بِوَحْدَانِيَتِهِ فِيْ ذَلِكَ، أَيْ بِأَنَّهُ
لَا شَرِيْكَ لَهُ فِيْ رُبُوْبِيَّتِهِ وَلَا فِيْ أُلُوْهِيَّتِهِ وَلَا فِيْ أَسْمَائِهِ
وَصِفَاتِهِ
“Kita
meyakini ke-Esa-an Allah dalam masalah tauhid ini. Yaitu bahwasanya Allah tak
memiliki sekutu dalam perbuatan-Nya (rububiyah), tidak dalam peribadahan
kepada-Nya (uluhiyah), tidak pula dalam nama-nama dan sifat-sifatNya (asma wa
shifat).” Kemudian beliau menyebutkan Firman Allah ta'ala:
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ
وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“(Dialah) Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang
ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh-hatilah dalam beribadah
kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya?” (QS.
Maryam [19]: 65). (Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 9)
Mengesakan
Allah dalam perbuatan-Nya
Poin pertama
yaitu mengesakan Allah dalam perbuatan-Nya, yang kemudian disebut oleh para
ulama dengan “Tauhid Rububiyah”. Maksudnya yaitu kita sebagai manusia
harus meyakini bahwa Allah melakukan perbuatan-perbuatan khusus yang hanya Dia
saja yang bisa melakukannya, adapun selain Allah maka tidak ada satupun yang
bisa melakukannya. Sehingga apabila ada orang yang meyakini bahwa selain Allah
ada yang bisa berbuat seperti Allah, berarti dia telah berbuat kesyirikan. Karena
berarti dia telah menganggap selain Allah itu seperti Allah, maka sama saja dia
telah menjadikan tandingan bagi Allah. Mari kita simak penjelasan berikut ini:
Di antara
kekhususan perbuatan Allah yang harus kita yakini adalah bahwa tidak ada yang menciptakan,
memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta mengatur alam semesta kecuali
hanya Allah saja. Maka apabila seseorang meyakini atau menganggap selain Allah
ada yang bisa menciptakan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta
mengatur alam semesta, berarti dia telah menjadikan tandingan bagi Allah, dia
telah berbuat kesyirikan.
Allah ta'ala
berfirman:
قُلْ مَنْ
يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ
وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ
مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا
تَتَّقُونَ
“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari
langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala
urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Allah.’ Maka katakanlah ‘Mengapa kalian
tidak bertakwa kepada-Nya?’” (QS. Yunus [10]: 31)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Dia-lah Allah ta'ala satu-satunya yang menciptakan dan
mengatur segala sesuatu, yang tidak ada satu nikmatpun yang dirasakan oleh
seorang hamba kecuali berasal dari-Nya. Juga tidak ada yang mendatangkan satu kebaikan
pun kecuali Dia, tidak ada yang menolak satu keburukan pun kecuali Dia. Dia
yang memiliki nama-nama yang indah (asma’ul husna) dan sifat-sifat yang
sempurna lagi agung, agung lagi mulia.” (Taisirul Karimir Rahman hal.
340)
Sehingga
dengan demikian, meyakini jimat-jimat atau rajah-rajah bisa melancarkan
rizki seperti melariskan dagangan adalah kesyirikan, meyakini sajen-sajen bisa
membuat hasil panen pertanian dan perkebunan melimpah adalah kesyirikan, meyakini
pawang atau semisalnya bisa menurunkan hujan adalah kesyirikan, meyakini
sapu lidi, bawang merah dan cabe bisa menolak turunnya hujan adalah kesyirikan.
Demikian pula
kita harus meyakini bahwa tidak ada yang bisa menyembuhkan orang sakit kecuali hanya
Allah ta'ala saja. Apabila seseorang meyakini selain Allah bisa
menyembuhkan berarti dia telah berbuat kesyirikan. Allah ta'ala telah
berfirman:
وَإِذَا مَرِضْتُ
فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan
apabila aku sakit; maka Dialah yang menyembuhkan aku.” (QS. asy-Syu’ara
[26]: 80)
Adapun
dokter, maka ia hanya sebagai penyebab saja dan tidak bisa menyembuhkan,
sehingga para dokter jangan sampai merasa sombong.
Demikian pula
kita harus meyakini bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan musibah dan menolak
bencana kecuali hanya Allah subhanahu wa ta'ala saja. Apabila seseorang
meyakini ada selain Allah yang bisa mendatangkan musibah atau menolak bencana,
berarti dia telah berbuat kesyirikan.
Allah ta'ala
berfirman:
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ
بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ
مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ
الْمُتَوَكِّلُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: ‘Allah.’
Katakanlah: ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain
Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah
hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?’
Katakanlah: ‘Cukuplah Allah bagiku.’ Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang
berserah diri.” (QS. az-Zumar [39]: 38)
Allah ta'ala juga berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا
لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ
اللَّهِ
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan
mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi
Allah.” (QS. Yunus [10]: 18)
Maka mempercayai bahwa jimat-jimat bisa menolak bahaya adalah syirik.
Percaya bahwa hari-hari tertentu, bulan-bulan tertentu atau angka-angka
tertentu bisa mendatangkan kesialan adalah syirik. Meyakini bahwa
memberikan sesaji di tempat-tempat tertentu bisa menolak bencana adalah
kesyirikan. Meminta bantuan, keselamatan, atau kekuatan kepada jin adalah
kesyirikan, dan contoh-contoh lain yang semisalnya
dengan meyakini selain Allah bisa berbuat seperti Allah maka semuanya adalah
kesyirikan. Bahkan Allah ta'ala berfirman tentang orang-orang yang minta
bantuan kepada jin:
وَأَنَّهُ كَانَ
رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara
manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di
antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS.
al-Jin [72]: 6)
Bersambung…
--------
Abu Ibrohim Ari bin Salimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.