Poin kedua
yaitu mengesakan Allah dalam peribadahan kepada-Nya, yang disebut oleh para ulama
dengan “Tauhid Uluhiyah”. Maksudnya yaitu kita harus mengikhlaskan
seluruh ibadah kita hanya untuk Allah subhanahu wa ta'ala saja. Apabila seseorang
meniatkan atau menujukan ibadahnya untuk selain Allah, berarti dia telah
berbuat kesyirikan. Baik itu untuk malaikat, nabi, orang-orang shalih, ataupun jin,
berhala, patung-patung, pohon besar, dan selainnya.
Allah subhanahu
wa ta'ala telah berfirman:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ
لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka
janganlah kamu menyembah seorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”
(QS. al-Jin [72]: 18)
وَمَا أُمِرُوا
إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.”
(QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Adapun makna ibadah, maka telah diungkapkan maknanya dengan sangat
bagus oleh seorang ulama besar di zamannya yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Ibadah adalah:
اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ
مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ أَوِ الْأَعْمَالِ البَاطِنَةِ
وَالظَّاهِرَةِ
“Sebuah
nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan diridhai
oleh-Nya baik berupa perkataan ataupun perbuatan, yang tersembunyi maupun yang nampak.”
(Al-Ubudiyah hal. 4)
Dari
pengertian ini, maka ibadah juga mencakup melaksanakan setiap yang
diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangan-Nya. Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullah mengatakan: “Dan di antara jenis-jenis ibadah yang
diperintahkan oleh Allah seperti Islam, Iman, dan Ihsan. Demikian juga berdoa,
khauf (takut), raja’ (berharap), tawakkal (berserah diri), raghbah (cinta),
rahbah (cemas), khusyu’, khasyah (takut), inabah (taubat), meminta pertolongan,
memohon perlindungan, meminta bantuan, menyembelih, bernadzar, dan macam-macam
ibadah lainnya yang diperintahkan oleh Allah semuanya. Dalilnya adalah Firman
Allah: ‘Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan
Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorangpun di dalamnya di samping
(menyembah) Allah.” (QS. al-Jin [72]: 18)’” (Al-Ushuluts
Tsalatsah hal. 8)
Beliau juga
mengatakan: “Barangsiapa memalingkan ibadah sedikit saja kepada selain Allah
maka ia telah berbuat kesyirikan dan kekafiran. Dalilnya adalah Firman Allah ta'ala:
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ
اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ
إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
‘Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah,
padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya
perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada
beruntung.’” (QS. al-Mu’minun [23]: 117) (Al-Ushuluts Tsalatsah
hal. 8)
Dari sini
kita mengetahui, bahwa menyembelih untuk jin dan setan adalah kesyirikan,
berpuasa dengan niat agar mendapatkan ilmu-ilmu ghaib adalah kesyirikan, berdoa
dan meminta kepada orang-orang yang sudah mati adalah kesyirikan, dan
ibadah-ibadah lain yang diniatkan atau ditujukan untuk selain Allah adalah
kesyirikan.
Yang perlu
diwaspadai juga yaitu meniatkan ibadah karena selain Allah; karena mengharapkan
harta dunia, kedudukan, pujian manusia, dan menghindari celaan manusia . Karena
semua hal ini disebut riya atau sum’ah yang juga termasuk kesyirikan,
sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ
الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟
قَالَ: الرِّيَاءُ
“Yang
paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya:
“Apa syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “riya”. (HR. Ahmad
23630, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 951)
Mengesakan
Allah dalam Nama-nama dan Sifat-sifatNya
Poin ketiga
yaitu mengesakan Allah dalam Nama-nama dan Sifat-sifatNya. Maksudnya
yaitu kita meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama yang indah (asma`ul husna)
dan sifat-sifat yang mulia. Poin ini disebut oleh para ulama dengan “Tauhid
Asma wa Shifat”.
Allah
subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَلِلَّهِ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي
أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan Allah memiliki asma`ul husna (nama-nama yang terbaik), maka
memohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma`ul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti
mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. al-A’raf [7]: 180)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ
شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. asy-Syura [42]: 11)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam awal kitabnya al-Aqidah
al-Wasitiyah:
وَمِنَ الإِيْمَانِ بِاللهِ
الإِيْمَانُ بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ فِيْ كِتَابِهِ وَبِمَا وَصَفَهُ بِهِ رَسُوْلُهُ
مِنْ غَيْرِ تَحْرِيْفٍ وَلَا تَعْطِيْلٍ وَمِنْ غَيْرِ تَكْيِيْفٍ وَلَا تَمْثِيْلٍ
“Termasuk
keimanan kepada Allah adalah beriman dengan apa saja yang telah Allah sifati
diri-Nya dengannya di dalam kitab-Nya dan dengan apa yang telah disifatkan oleh
Rasul-Nya, tanpa menyalah-artikannya dan menolaknya, serta tanpa bertanya
tentang bagaimananya, dan tanpa menyerupakannya dengan makhluk.”
Di antara sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits
yang shahih yaitu: sifat al-Hayat (hidup), al-Ilmu (ilmu), al-Qudrah
(berkuasa), as-Sam’u (mendengar), al-Bashar (melihat), al-Kalam (berbicara),
al-Iradah (berkehendak), ar-Rahmah (rahmat dan kasih sayang), al-Hikmah
(bijaksana), al-‘Uluw (tinggi), al-Istiwa` (bersemayam), an-Nuzul (turun),
al-Wajhu (wajah), dan al-Yadani (dua tangan), dan al-‘Ainani (dua mata). (Aqidatuka
Ayyuhal Muslim karya Syaikh Abdurrahman Musa alu Nashr hal 24)
Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari hafidzahullah menukil
ucapan Imam Malik rahimahullah dari kitab Syarhus Sunnah al-Baghawi,
bahwa suatu ketika Imam Malik rahimahullah pernah ditanya oleh seorang
laki-laki tentang Firman Allah ta'ala dalam surat Thaha ayat 5: “Allah
ar-Rahman bersemayam di atas Arsy”, orang tersebut bertanya: “Bagaimanakah
bersemayamnya Allah?” Maka Imam Malik menjawab:
الاِسْتِوَاءُ غَيْرُ
مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ
عَنْهُ بِدْعَةٌ
“Bersemayamnya
Allah adalah sesuatu yang jelas, tentang bagaimananya tidak bisa dijangkau oleh
akal, sedangkan mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah
sebuah perkara yang mengada-ada.” (Al-Wajiz fi Aqidah as-Salafish Shalih
Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 41)
Ucapan Imam
Malik rahimahullah ini dijadikan kaidah dalam memahami sifat-sifat Allah
ta'ala oleh para ulama ahlus sunnah setelah beliau. Kita ambil contoh
penerapannya agar kita semakin paham:
Allah
memiliki sifat dua tangan, maka tangan adalah sesuatu yang jelas secara bahasa,
adapun bagaimana hakikat tangan Allah maka tidak ada yang tahu dan tidak sama
dengan makhluk, serta tidak bisa kita jangkau dengan akal kita, sedangkan
mengimani bahwa Allah memiliki tangan adalah wajib, dan bertanya tentang
bagaimana tangan Allah adalah sesuatu yang terlarang; tidak pernah ditanyakan
oleh para sahabat Nabi maupun para ulama pada generasi awal Islam.
Adapun bentuk
kesyirikan dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah yaitu mensifati selain Allah
dengan sifat yang khusus hanya untuk Allah atau menyerupakan sifat Allah dengan
sifat makhluk, termasuk juga menamai selain Allah dengan nama-nama yang hanya khusus
untuk Allah.
Syaikh
Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah
berkata: “Syirik dalam asma wa shifat ada dua jenis:
Pertama yaitu
menyerupakan Allah Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya (makhluk); seperti orang
yang mengatakan “Tangan Allah seperti tanganku”, “Pendengaran Allah seperti
pendengaranku”, “Pengelihatan Allah seperti pengelihatanku”, “Bersemayamnya
Allah seperti aku bersemayam”. Syirik semacam ini disebut dengan syirik
penyerupaan.
Yang kedua
yaitu menamai tuhan-tuhan yang palsu dengan nama-nama tuhan yang asli (Allah);
seperti kaum musyrikin yang menamakan berhala mereka dengan “Al-Lata” yang
berasal dari nama Allah “Al-Ilah”, dan nama “Al-Uzza” yang berasal dari nama
Allah “Al-Aziz”.” (Taisirul ‘Azizil Hamid fi Syarhi Kitabit Tauhid hal.
134-135)
Termasuk
sifat Allah adalah al-Ilmu yaitu mengetahui. Di antara ilmu khusus hanya Allah saja
yang tahu adalah mengetahui yang ghaib. Maka kita harus meyakini bahwa tidak
ada yang mengetahui perkara ghaib kecuali hanya Allah saja. Apabila seseorang
meyakini ada selain Allah yang bisa mengetahui perkara ghaib, apapun
sebutannya; entah itu dukun, peramal, paranormal, orang tua, orang pintar,
kyai, ataupun selainnya, berarti dia telah berbuat kesyirikan. Allah subhanahu
wa ta'ala berfirman:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ
الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ
“Dan
kunci-kunci semua yang ghaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia.”
(QS. al-An’am [6]: 59)
عَالِمُ الْغَيْبِ
فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ
“Dia mengetahui yang ghaib, tetap Dia tidak memperlihatkan
kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang
diridhai-Nya.” (QS. al-Jin [72]: 26-27)
Bahkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda bagi orang-orang
yang mendatangi dukun ataupun peramal:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا
فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Siapa
yang mendatangi peramal, kemudian bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka
shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam.” (HR. Muslim 2230)
Ini baru
bertanya saja, bila sampai mempercayainya, maka Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا
أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى
مُحَمَّدٍ
“Siapa
yang mendatangi dukun atau peramal, kemudian ia mempercayainya, maka ia telah
kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam.” (HR. Ahmad 9536, dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth
pada tahqiq beliau terhadap hadits ini dalam Musnad Ahmad)
Maka jangan sampai kita meridhai atau bahkan mengamalkan ilmu perdukunan; seperti sihir,
pelet, santet, guna-guna, pengasihan, penglaris, ilmu kebal dan sejenisnya. Na’udzubillahi
min dzalik (kita berlidung kepada Allah dari semua itu).
Sampai di
sini kita mengetahui bahwa kesyirikan adalah dosa yang sangat berbahaya dan
paling berbahaya, karena merupakan pembatal keislaman dan menjadi penyebab
kekalnya seseorang di dalam neraka. Namun bukan berarti ketika ada seorang
muslim melakukan kesyirikan dia langsung keluar dari Islam dan menjadi orang
kafir, bukan begitu. Ada kaidah-kaidah penting dalam hal ini yang harus
dipahami, seperti karena ketidak-tahuan, tidak sengaja, atau terpaksa dalam
keadaan tetap beriman hatinya, atau sebab yang lain sebagaimana telah
dijelaskan oleh para ulama. Allahu a’lam.
Demikian
pembahasan tentang tauhid dan syirik yang bisa kami bahas ini. Kesimpulan yang
bisa kita ambil yaitu bahwasanya para ulama membagi tauhid menjadi tiga, yaitu
tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma wa shifat. Sedangkan
kesyirikan yaitu menjadikan sekutu atau tandingan bagi Allah dalam
masing-masing tauhid ini.
Meski
demikian, yang menjadi inti dari semua jenis tauhid adalah tauhid uluhiyah
(mengesakan Allah dalam peribadahan kepada-Nya). Hal ini dijelaskan oleh Syaikh
Shalih al-Fauzan hafidzahullah, beliau berkata: “Tiga jenis tauhid ini,
yang dimaksudkan dari ketiganya adalah tauhid uluhiyah, karena tauhid inilah
yang didakwahkan oleh para rasul, karenanya diturunkannya kitab-kitab, dan
untuk tujuan inilah ditegakkannya jihad di jalan Allah, sehingga peribadahan
hanya ditujukan kepada Allah saja, dan ditinggalkannya peribadahan kepada
selain-Nya.” (Syarhul Aqidah ath-Thahawiyah hal 28)
Semoga Allah subhanahu
wa ta'ala menjaga kita tetap berada di atas tauhid hingga akhir hayat kita
dan menjauhkan kita dari kesyirikan sejauh-jauhnya. Hanya kepada-Nya lah kita
memohon.
Abu
Ibrohim Ari bin Salimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.