Bid’ah atau yang didefinisikan oleh para ulama dengan perkara
baru dalam agama yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu 'anhum, memiliki
bahaya yang banyak bagi seorang hamba, sehingga kita harus waspada terhadapnya.
Di antara bahaya-bahaya itu adalah sebagai berikut:
1. Sebab perpecahan
Allah
'azza wa jalla berfirman:
وَلَا
تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Janganlah kalian
ikuti jalan-jalan yang lain (selain jalan Allah),
karena itu akan mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya.”
(QS.
al-An’am [6]: 153).
إِنَّ
الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya
orang-orang yang telah memecah belah agama mereka dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.”
(QS. al-An’am [6]:
159)
Imam
asy-Syatibi rahimahullah mengatakan: “Ada beberapa ayat lain juga yang
semakna dengan dua ayat di atas. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
telah menjelaskan bahwa perpecahan umat Islam adalah merupakan kehancuran, dan
perpecahan ini akan membuat agama ini hancur. Dan realita menunjukkan bahwa
perpecahan dan permusuhan muncul ketika perbuatan bid’ah itu terjadi.” (Mukhtashar
al-I’tisham hal. 34)
2. Susah Taubat
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata:
البِدْعَةُ
أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَّةٍ الْمَعْصِيَّةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالبِدْعَةُ
لَا يُتَابُ مِنْهَا
“Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat
biasa. Karena (pelaku) maksiat itu lebih bisa diharapkan untuk
bertaubat,
sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat.” (Talbis Iblis karya
Ibnul Jauzi hal. 22)
Bagaimana pula para
pelaku bid’ah akan bertaubat, sedangkan mereka memandang bahwa perbuatannya itu
adalah sebuah ibadah. Adapun pelaku maksiat, maka mereka sadar bahwa perbuatan
mereka itu adalah maksiat dan salah, oleh karena itulah lebih bisa diharapkan untuk
bertaubat.
3.
Amalannya tertolak
Hal
ini berdasarkan keumuman hadits:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim 1718)
4.
Dosa jariyah
Tak diragukan lagi bahwa
bid’ah adalah perbuatan dosa yang diharamkan, sedangkan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ
دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ
عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ
آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa mengajak manusia kepada
petunjuk, maka baginya pahala sebagaimana pahala orang yang mengikuti ajakannya
itu tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka
ia mendapat dosa sebagaimana dosa orang yang mengikuti ajakannya itu tanpa
dikurangi sedikitpun.” (HR. Muslim 2674)
Lihatlah betapa ruginya
menjadi pelopor perbuatan bid’ah, orangnya telah meninggal dunia dan tak bisa
beramal lagi, namun ia terus mendapat aliran dosa dari orang-orang yang
mengikuti bid’ahnya sepeninggalnya.
5.
Dihalangi dari telaga
Nabi
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ
مَنْ وَرَدَهُ شَرِبَ مِنْهُ، وَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ لَمْ يَظْمَأْ بَعْدَهُ
أَبَدًا لَيَرِدُ عَلَيَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِي ثُمَّ يُحَالُ
بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ. قَالَ: إِنَّهُمْ مِنِّي فَيُقَالُ: إِنَّكَ لاَ تَدْرِي
مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ: سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِي.
“Aku akan
mendahului kalian di telaga. Siapa yang mendatanginya ia akan meminumnya, dan
siapa yang meminum darinya maka setelahnya tak akan haus selamanya. Sungguh
akan datang kepadaku suatu kaum yang aku mengenal mereka dan mereka mengenaliku,
kemudian dihalangi antara aku dan mereka.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Mereka itu adalah umatku.” Maka dikatakan: “Sesungguhnya
kamu tidak tahu apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Menjauh, menjauh, orang yang telah merubah
ajaranku sepeninggalku!” (HR. Bukhari 7050 - 7051)
6.
Memprotes
Firman Allah 'azza wa jalla
Orang
yang berbuat bid’ah seolah-olah ia tak percaya dan tak setuju dengan Firman
Allah yang menyatakan bahwa agama ini telah sempurna:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu.”
(QS. al-Maidah [5]: 3)
Seolah-olah
ia mengatakan: “Belum ya Allah, agama ini belum sempurna, masih perlu tambahan
amalan ini dan itu.”
7.
Menuduh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak amanah
Hal
ini sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullah:
مَنْ
اِبْتَدَعَ فِيْ الإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا
صلى الله عليه وسلم خَانَ الرِّسَالَةَ، لِأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ: {اليَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِيْنَكُمْ} فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا، فَلَا يَكُوْنُ اليَوْمَ
دِيْنًا
“Siapa yang membuat
bid’ah dalam Islam, dan ia menganggapnya sebagai perbuatan yang baik, maka ia
telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkhianat
dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman: {Pada hari ini telah
Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian}. Maka apa yang pada hari itu bukan
termasuk bagian dari agama, begitu juga pada hari ini tidak termasuk bagian
dari agama.” (Al-I’tisham 1/65, lihat Nurus Sunnah wa Dhulumatul Bid’ah
hal. 47 karya Syaikh Sa’id bin Wahf al-Qahthan rahimahullah)
8.
Berdusta atas nama Allah ta'ala
Ketika seseorang
menyatakan bahwa sebuah amalan termasuk bagian dari agama padahal tidak ada
wahyu yang menerangkan tentang hal itu, berarti ia telah berdusta dan
mengada-adakan suatu perkataan atas nama Allah ta'ala, karena wahyu itu
berasal dari Allah ta'ala. Padahal tentang Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam saja Allah 'azza wa jalla telah berfirman:
وَلَوْ
تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ ثُمَّ
لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ
“Dan
sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami,
pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian kami potong pembuluh
jantungnya. Maka tidak ada seorang pun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami
untuk menghukumnya).” (QS. al-Haqqah [69]: 44-47)
9.
Memposisikan diri seperti pembuat Syari’at
Menetapkan
sesuatu sebagai ibadah hanyalah hak Allah subhanahu wa ta'ala. Oleh
karena itu, ketika ada seseorang membuat-buat atau mengada-ada perkara baru
dalam agama, berarti dia telah memposisikan diri seperti pembuat syari’at yaitu
Allah 'azza wa jalla -kita berlindung kepada Allah dari yang demikian
itu-. Padahal kewajiban kita sebagai hamba hanyalah menerima dan melaksanakan
syariat Allah ta'ala yang telah Dia tetapkan.
Az-Zuhri
Imamnya para Imam dan selainnya dari para ulama umat rahimahumullah
mengatakan:
عَلَى
اللهِ البَيَانُ وَعَلَى الرَّسُوْلِ البَلَاغُ وَعَلَيْنَا التَّسْلِيْمُ
“Allah yang menjelaskan, kewajiban
Rasulullah adalah menyampaikan, sedangkan kewajiban kita adalah menerima
sepenuhnya.” (Aqidatus Salaf wa Ashabil Hadits 190, lihat Hayatus
Salaf Bainal Qauli wal Amal karya Syaikh Ahmad bin Nashir ath-Thayyar hafidzahullah
hal.27)
10.
Mendapat ancaman neraka
Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam telah bersabda:
وَشَرَّ
الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِيْ النَّارِ
“Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang
diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. an-Nasa`i
1578 dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shaghir
1353)
Demikianlah
di antara bahaya bid’ah bagi seorang hamba. Betapa
besar dan
mengerikannya konsekuensi dari perbuatan bid’ah, sehingga sudah sepantasnya kita
untuk waspada dari perbuatan bid’ah ini.
--------
Abu Ibrohim Ari bin
Salimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.