Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku
wasiatkan kepada kalian agar selalu bertakwa kepada Allah, dan selalu mendengar
dan taat (kepada pemimpin kalian) meskipun ia adalah seorang budak dari negeri
Habasyah, sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih hidup setelahku, maka
ia akan melihat perpecahan yang banyak, maka berpegang teguhlah dengan sunnah
(ajaran)ku dan sunnahnya al-Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk,
penganglah ia erat-erat dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan jauhilah oleh
kalian perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang diada-adakan
itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Dawud 4609,
Ahmad 17144, Ibnu Majah 42, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul
Jami’is Shaghir 2549)
Dari hadits ini kita mengetahui bahwa yang dimaksud dengan
sunnah adalah apa-apa yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, sedangkan bid’ah adalah lawan
dari sunnah, yaitu amalan yang diada-adakan dalam agama Islam yang tidak pernah
diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga
tidak pernah diamalkan oleh para Sahabat beliau radhiyallahu 'anhum yang
ditokohi oleh para al-Khulafa`ur Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khaththab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhum. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan di dalam
kitab tafsir beliau:
وَأَمَّا أَهْلُ السُّنَّةِ
وَالجَمَاعَةِ، فَيَقُوْلُوْنَ: فِيْ كُلِّ فِعْلٍ وَقَوْلٍ لَمْ يَثْبُتْ عَنْ
الصَّحَابَةِ رضي الله عنهم هُوَ بِدْعَةٌ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا
إِلَيْهِ، لِأَنَّهُمْ لَمْ يَتْرُكُوْا خَصْلَةً مِنْ خِصَالِ الْخَيْرِ إِلَّا وَقَدْ
بَادَرُوْا إِلَيْهَا
“Adapun
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mereka mengatakan: ‘Pada setiap perbuatan ataupun
ucapan yang tidak datang dari sahabat radhiyallahu 'anhum adalah bid’ah.
Karena jika seandainya sebuah amalan itu baik, tentulah mereka para sahabat
telah mendahului kita dalam melakukannya. Karena mereka tidak meninggalkan
satupun jenis dari jenis-jenis kebaikan kecuali mereka telah bersegera untuk
mengamalkannya.’” (Tafsir al-Qur’anil Adhim 4/2574)
Makna bid’ah secara bahasa diambil
dari kata “al-Bad’u” yang berarti menciptakan sesuatu yang baru tanpa ada
contoh sebelumnya. (Kitabut Tauhid karya Syaikh Shalih al-Fauzan hafidzahullah
hal. 100)
Adapun bid’ah dalam agama adalah apa saja yang tidak
berdasarkan dalil baik dari al-Qur’an maupun sunnah, dan bid’ah ini terjadi
pada ibadah dan agama. (Taujihatun Islamiyyah li Ishlahil Fardi wal Mujtama’
karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hal. 79)
Atau sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam asy-Syatibi rahimahullah
yang memberikan definisi bid’ah dengan:
طَرِيْقَةٌ فِيْ الدِّيْنِ
مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِيْ الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ
فِيْ التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ
“Cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan
maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa
ta'ala.” (Al-I’tisham hal. 50)
Jadi bid’ah itu hanya dalam masalah agama, ketika seseorang
beribadah namun tidak ada dalilnya, atau tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam ataupun dari para sahabat beliau radhiyallahu 'anhum,
maka itu disebut dengan bid’ah. Di antara contoh yang dijelaskan oleh para ulama
adalah seperti peringatan Maulid Nabi dan acara selamatan kematian, karena
perbuatan tersebut memang tidak ada tuntunannya dari syari’at. Jadi bid’ah yang
dimaksud oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bukan perkara
baru dalam masalah dunia, tapi dalam masalah agama.
Oleh karena itu dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Jamil
Zainu rahimahullah: “Jika ada yang berkata: ‘Kacamata adalah bid’ah.’
Maka jawabannya adalah bahwa kacamata bukanlah perkara agama, namun ia adalah
sesuatu yang baru dalam masalah keduniaan, yang mana tentang hal ini Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ
بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
‘Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.’ (HR. Muslim
2363)
Maka perkara yang baru dalam masalah dunia ini bagaikan
pedang bermata dua; seperti radio misalnya, jika kita gunakan untuk
mendengarkan al-Qur’an dan pembicaraan-pembicaraan masalah agama, maka hukumnya
halal dan dituntut, dan jika digunakan untuk mendengarkan musik dan
nyanyian-nyanyian yang membangkitkan hawa nafsu, maka hukumnya menjadi haram,
karena hal ini merusak akhlak dan membahayakan masyarakat.” (Taujihatun
Islamiyyah li Ishlahil Fardi wal Mujtama’ hal. 79)
Dari penjelasan beliau kita pun mengetahui orang-orang yang
salah paham tentang makna bid’ah, hingga seolah merasa risih dengan ungkapan
bid’ah seraya mengatakan “Kalau begitu kita tidak boleh pergi haji menggunakan
pesawat, karena pesawat itu bid’ah, karena tidak ada di zaman Rasul.” Maka kita
katakan bahwa, pesawat bukanlah termasuk bid’ah dalam agama, tapi ia adalah
perkara dunia, sehingga tidak masuk dalam pembahasan perkara bid’ah yang
diada-adakan dalam agama. Demikian pula orang yang mengatakan “Kamu itu juga
bid’ah dari ujung rambut sampai kaki.” Maka kita katakan pula kepadanya, bahwa
perkara ini tidak masuk dalam lingkup pembahasan bid’ah yang dilarang dalam
agama.
Adakah
Bid’ah Hasanah?
Dari hadits yang telah lalu dari sahabat al-Irbadh bin
Sariyah radhiyallahu 'anhu kita mengetahui penjelasan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, bahwa setiap bid’ah atau setiap amalan yang diada-adakan
dalam Islam adalah sesat, dan tidak ada bid’ah yang baik atau yang disebut
dengan bid’ah hasanah, sebagaimana persangkaan sebagian orang.
Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma berkata:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, meski manusia melihatnya sebagai
sesuatu yang baik.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah 1/126 karya
Imam al-Lalika’i rahimahullah - Maktabah Syamilah)
Imam Ahmad rahimahullah, salah seorang murid terbaik Imam
Syafi’i rahimahullah berkata di awal kitab beliau Ushulus Sunnah:
أُصُوْلُ السُّنَّةِ
عِنْدَنَا التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم وَالاِقْتِدَاءُ بِهِمْ وَتَرْكُ البِدَعِ وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلَالَةٌ
“Pokok
agama bagi kami adalah berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti mereka, meninggalkan bid’ah,
dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Bahkan Imam Malik rahimahullah, yang merupakan salah
satu guru utamanya Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
مَنْ اِبْتَدَعَ فِيْ
الإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صلى الله
عليه وسلم خَانَ الرِّسَالَةَ، لِأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ: {اليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِيْنَكُمْ} فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا، فَلَا يَكُوْنُ اليَوْمَ دِيْنًا
“Siapa yang membuat bid’ah dalam Islam, dan ia menganggapnya
sebagai perbuatan yang baik, maka ia telah mengaku bahwa Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkhianat dalam menyampaikan risalah,
karena Allah telah berfirman: {Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk
kalian agama kalian}. Maka apa yang pada hari itu bukan termasuk bagian
dari agama, begitu juga pada hari ini tidak termasuk bagian dari agama.” (Al-I’tisham
1/65, lihat Nurus Sunnah wa Dhulumatul Bid’ah hal 47 karya Syaikh Sa’id
bin Wahf al-Qahthan rahimahullah)
Bahkan setiap perbuatan bid’ah tertolak dan tidak diterima
oleh Allah ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah
bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
membuat perkara baru dalam urusan agama kami ini yang tidak ada contoh darinya,
maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari 7349 dan Muslim 1718)
Bagaimana jika seseorang beralasan: “Saya tidak
membuat-buat perkara baru dalam agama, saya ini kan cuma ikut-ikutan apa yang
telah dilakukan oleh orang-orang sejak dulu.” Maka sanggahannya: Sama saja
antara orang yang membuat dan orang yang tidak membuatnya tapi mengamalkan
perkara baru dalam agama, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
juga telah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang
tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim
1718)
Dari sini maka jelas bagi kita bahwa setiap bid’ah atau
semua bid’ah adalah sesat, sehingga tidak ada bid’ah hasanah atau bid’ah yang
baik. Maka hendaknya kita abaikan ucapan manusia yang mengatakan adanya bid’ah
yang baik (hasanah) dengan membawakan alasan-alasan yang seolah-olah
membenarkan ucapan mereka. Ketahuilah bahwasanya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam telah bersabda:
وَشَرَّ الْأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ
فِيْ النَّارِ
“Seburuk-buruk perkara adalah perkara
yang diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan
setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR.
an-Nasa`i 1578 dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ish
Shaghir 1353(
Semoga Allah memberikan
hidayah kepada kaum muslimin sehingga dipahamkan tentang bid’ah, dan dimudahkan
untuk meninggalkannya. Serta semoga Allah menetapkan langkah kita semua di atas
jalan sunnah rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat
beliau radhiyallahu 'anhum.
--------
Abu Ibrohim Ari bin Salimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.