Agama Islam sangat memperhatikan sekali masalah berbakti
kepada orang tua, hingga meskipun orang tua kita telah meninggal dunia, kita
pun masih tetap bisa berbakti kepada mereka. Bahkan mereka lebih membutuhkan
bakti kita setelah meninggal dunia. Karena ketika mereka masih hidup, mereka
masih bisa beramal, namun setelah mereka tiada, mereka tak bisa beramal lagi. Maka
hendaknya kita perbanyak bakti kita kepada orang tua kita ketika salah satu
atau keduanya telah tiada. Lalu bagaimanakah kita berbakti kepada orang tua
kita yang telah meninggal dunia? Berikut inilah pemaparannya:
1.
Mendoakannya
dan memohonkan ampun untuknya
Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِذَا مَاتَ
الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali
dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang
mendoakannya.” (HR. Muslim 1631)
Demikian juga sabda beliau yang lain:
إِنَّ
الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِيْ الجَنَّةِ فَيَقُوْلُ أَنَّى هَذَا؟ فَيُقَالُ:
بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sesungguhnya
seseorang benar-benar diangkat derajatnya di surga, maka ia pun bertanya:
‘Bagaimana ini bisa terjadi?’ dikatakanlah kepadanya: ‘Ini adalah sebab
permohonan ampun anakmu untukmu.’” (HR. Ibnu Majah 3660, dishahihkan Syaikh
al-Albani dalam Shahihul Jami’ 1617)
Dengan
kabar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini, maka berbahagialah
para orang tua yang memiliki anak shalih, apalagi jika anaknya banyak dan
semuanya shalih. Sehingga hendaknya kita berusaha untuk mendidik anak-anak kita
agar menjadi anak yang shalih. Dan hendaknya juga kita sebagai seorang anak
untuk banyak memohonkan ampun bagi orang tua kita, baik ketika mereka masih hidup,
apalagi ketika sudah meninggal dunia.
2.
Membayarkan
hutangnya dan memenuhi nadzar atau wasiatnya
Apabila
orang tua kita yang telah meninggal dunia memiliki hutang, nadzar, atau wasiat,
maka kita sebagai ahli warisnya diperintahkan untuk menunaikannya. Sehingga ketika
kita menunaikannya berarti kita telah melakukan perbuatan berbakti kepadanya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ
أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ
يُقْضَى
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: “Seorang laki-laki datang
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, sedangkan ia memiliki
hutang puasa Ramadhan selama satu bulan, apakah aku membayarkan hutang
puasanya?’ Beliau bersabda: ‘Ya, hutang kepada Allah lebih pantas untuk ditunaikan.’”
(HR. Bukhari 1953 dan Muslim 1148)
Dalam
riwayat yang lain disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ
مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Siapa saja yang meninggal dan masih memiliki hutang puasa, maka
walinya yang membayar hutang puasanya.” (HR. Bukhari 1952
dan Muslim 1147)
Dalam
hadits yang lain disebutkan tentang wasiat:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
أُمِّىَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ
تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ: نَعَمْ
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha,
bahwasanya ada seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal secara
mendadak dan belum berwasiat. Aku yakin jika dia sempat berbicara, dia akan
bersedekah. Apakah dia akan mendapat pahala jika aku bersedekah atas namanya?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya.” (HR. Bukhari 1388
dan Muslim 1004, dan ini lafadz Imam Muslim)
Dalam
hadits yang lain disebutkan tentang nadzar:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
اسْتَفْتَى رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ
وَعَلَيْهَا نَذْرٌ فَقَالَ: اقْضِهِ عَنْهَا.
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu
'anhu meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan ia memiliki nadzar.” Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: “Tunaikanlah nadzarnya!” (HR. Bukhari 2761)
Imam
Bukhari rahimahullah ketika meriwayatkan hadits ini, beliau memberikan
judul:
باب مَا يُسْتَحَبُّ
لِمَنْ يُتَوَفَّى فَجْأَةً أَنْ يَتَصَدَّقُوا عَنْهُ وَقَضَاءِ النُّذُورِ عَنِ
الْمَيِّتِ
“Bab Disukai
bagi Orang yang Mati Tiba-tiba agar (Ahli Warisnya) Bersedekah atasnya dan
Menunaikan Nadzar si Mayit”
Akan
tetapi apabila nadzar atau wasiatnya mengandung perbuatan dosa, maka kita tidak
boleh menunaikannya. Karena ketaatan kepada orang tua hanyalah pada hal yang
baik atau yang tidak mengandung perbuatan dosa.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ
يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَة.
“Wajib mendengar
dan taat kepada pemimpin kaum muslimin, baik pada hal yang disukai ataupun yang
dibenci, selama bukan dalam kemaksiatan, jika disuruh untuk berbuat maksiat
maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Bukhari 7144, Muslim 1839, Abu Dawud
2628, at-Tirmidzi 1707)
Imam
at-Tirmidzi ketika meriwayatkan hadits ini beliau memberikan judul bab:
لاَ طَاعَةَ
لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الخَالِقِ
“Tidak
Ada Ketaatan kepada Makhluk untuk Memaksiati Allah”
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ رضي
الله عنها عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ
اللهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
Dari Aisyah radhiyallahu
‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Siapa
yang bernadzar untuk mentaati Allah maka lakukanlah, dan siapa bernadzar untuk
memaksiati-Nya maka janganlah ia lakukan.” (HR. Bukhari 6696)
3.
Bersedekah
dengan niat atasnya
Hal
ini berdasarkan hadits berikut ini:
عَنِ ابْنُ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ
أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ
تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ: فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِي الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma, bahwasanya Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu, ibunya
meninggal dunia, sedangkan Sa’ad ketika itu tidak sedang bersamanya. Maka Sa’ad
berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal ketika aku tidak
sedang bersamanya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu atas
namanya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya (bermanfaat).”
Sa’ad berkata: ‘Kalau begitu aku bersaksi kepadamu bahwa kebun yang siap berbuah
milikku aku sedekahkan atas namanya’.” (HR. al-Bukhari: 2756)
4.
Menyambung
silaturahim dengan kerabat
Berdasarkan
hadits berikut ini:
Dari Abdullah bin Dinar rahimahullah,
dari Abdullah bin Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhuma, bahwasanya ada
seorang Arab pedalaman yang bertemu dengannya di sebuah jalan di Mekah, maka
Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepadanya dan membawanya di atas keledai
yang sebelumnya dia jadikan sebagai kendaraannya, dan beliau pun memberikannya
kepadanya beserta sebuah imamah yang sebelumnya beliau pakai di kepalanya. Ibnu
Dinar berkata: “Kami pun berkata kepada beliau: ‘Semoga Allah memperbaiki
keadaanmu, sesungguhnya dia itu hanyalah seorang Arab pedalaman, pasti ia ridha
dengan pemberian yang sedikit.’” Abdullah bin Umar berkata: “Sesungguhnya
bapaknya orang ini adalah orang yang dicintai oleh Umar bin Khattab (bapak
beliau), sedangkan aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ
الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ
“Kebaikan yang
paling baik adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang-orang yang
disenangi bapaknya.” (HR. Muslim 2552)
5.
Beramal
shalih
Secara
umum semua amal shalih seorang anak akan sampai pahalanya kepada orang tua. Hal
ini karena seseorang tidak akan mendapatkan kecuali apa yang telah
diusahakannya, sedangkan anak adalah hasil usaha orang tua. Allah ta'ala
berfirman:
وَأَنْ
لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwa
manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya.” (QS. an-Najm [59]: 39)
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَطْيَبَ
مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ، وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ.
Dari
Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda: “Sesungguhnya makanan paling baik yang kalian makan
adalah yang berasal dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah
bagian dari usaha kalian.” (HR. at-Tirmidzi 1358, dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani dalam Shahihul Jami’ 1566)
Fatwa Ulama
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
dalam sebuah ceramahnya pernah ditanya tentang berbakti kepada orang tua yang
telah meninggal dunia. Penanya berkata:
يَا
فَضِيْلَةُ الشَّيْخ، مَا الأَعْمَالُ الَّتِيْ أَبُرُّ بِهَا وَالِدَيَّ بَعْدَ وَفَاتِهِ
غَيْرَ الدُّعَاءِ؟
“Wahai Syaikh yang kami muliakan, amalan apakah yang bisa
aku lakukan untuk berbakti kepada orang tuaku yang telah meninggal dunia selain
berdoa?”
Beliau rahimahullah menjawab:
نَعَمْ،
الصَّدَقَةُ، الاِسْتِغْفَارُ، صِلَةُ الرَّحِمِ، إِكْرَامُ الصَّدِيْقِ، كُلُّ هَذِهِ
مِمَّا يُبَرُّ بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ، لَكِنِ الدُّعَاءَ وَالاِسْتِغْفَاَرَ لَهُمَا
أَفْضَلُ شَيْءٍ، فَعَلَيْكَ أَخِيْ الْمُسْلِمُ بِالدُّعَاءِ لِأَمْوَاتِكَ، وَاجْعَلِ
الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ لِنَفْسِكَ، فَأَنْتَ مُحْتَاجٌ لِلْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ،
وَسَيَأْتِيْكَ اليَوْمُ الَّذِيْ تَتَمَنَّى أَنَّ فِيْ صَفْحَةِ حَسَنَاتِكَ حَسَنَةً
وَاحِدَةً. نَعَمْ.
“Ya: bersedekah, memohonkan ampun, menyambung
silaturahim, memuliakan temannya, semua ini adalah termasuk berbakti kepada
orang tua setelah meninggalnya. Akan tetapi mendoakannya dan memohonkan ampun
untuknya adalah yang paling utama. Maka hendaknya engkau wahai saudaraku muslim
untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal (dari keluargamu), dan engkau
menjadikan amalan shalih adalah untukmu, karena engkau membutuhkan amal shalih.
Dan akan datang kepadamu hari dimana engkau mengharapkan di catatan amalanmu
ada satu kebaikan. Demikian.”
Rekaman dan tulisan fatwa beliau ini bisa anda buka dan
download di situs: http://binothaimeen.net/content/13468.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk anak yang shalih
dan mengaruniakan kepada kita anak-anak yang shalih dan shalihah. Allahumma
amin. Wallahu a’lam.
Abu Ibrohim Ari bin Salimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.