Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang agung yang
Allah wahyukan kepada nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagai mukjizat yang nyata bagi beliau. Ia adalah petunjuk bagi manusia. Di
dalamnya terdapat 114 surat, di antaranya adalah sebuah surat yang pendek namun
memiliki makna yang sangat agung. Surat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafi’i
rahimahullah:
“Kalaulah Allah Subhanahu wa Ta'ala
tidak menurunkan kepada makhluk-Nya kecuali surat ini, niscaya sudah mencukupi
mereka.” (Al-Ushul ats-Tsalatsah hal. 2)
Surat yang dimaksud oleh Imam Syafi’i rahimahullah
adalah surat al-‘Ashr. Allah 'azza wa jalla berfirman:
وَالْعَصْرِ.
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ.
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal shalih dan saling nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr [103]: 1-3)
Keutamaan Waktu
Waktu adalah
modal utama bagi manusia untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya menuju
perjalanan panjang kehidupan setelah kematian. Waktu akan terus berjalan tanpa
henti, apabila terlewati, maka ia tidak akan pernah kembali lagi. Dalam ayat
pertama Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan masa: وَالْعَصْرِ (demi
masa), sekaligus menunjukkan akan keutamaan waktu.
Dalam hadits
disebutkan bahwa kelak manusia akan ditanya tentang waktu hidupnya di dunia:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ
حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ
“Tidak akan bergeser kaki seorang
hamba kelak di hari kiamat, hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa
dihabiskan.” (HR. at-Tirmidzi 2417, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahihut
Targhib wat Tarhib 126)
Namun begitu
banyak manusia yang lalai dari waktu luangnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ
النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغ
“Ada dua nikmat yang banyak manusia
lalai dari keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari 6412)
Seseorang yang telah meninggal dunia,
berarti telah habis masa pencarian bekalnya dan telah berhenti usahanya,
kecuali amal jariyah yang ia tanam sebelum matinya. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ
عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga:
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.”
(HR. Muslim 1631)
Seluruh Manusia Berada Dalam Kerugian
Kemudian Allah 'Azza wa Jalla melanjutkan Firman-Nya, إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian”.
Allah sang Pencipta Yang Maha Mengetahui keadaan manusia bersumpah dengan
masa/waktu, bahwa manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kemudian
Allah mengecualikan ada sebagian manusia yang terhindar dari kerugian ini.
Mereka adalah orang-orang yang mempunyai empat sifat.
Empat Sifat Manusia Yang Dikecualikan
Empat sifat ini Allah Ta'ala
sebutkan dalam ayat yang selanjutnya:
1.
Orang-orang
yang beriman
Pertama, yang
dikecualikan dari kerugian adalah orang yang beriman إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا “Kecuali
orang-orang yang beriman”. Mereka adalah orang yang beriman kepada kepada
apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk mengimaninya, sebagaimana dikatakan
oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam Taisirul
Karimir Rahman hal. 893. Namun untuk memiliki keimanan yang benar itu
membutuhkan ilmu. Tidak seperti orang-orang kafir Quraisy di zaman Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dahulu, mereka mengimani Allah tetapi masih beribadah
kepada patung-patung, sehingga keimanan mereka kepada Allah tidak memberikan manfaat
sama sekali, maka jadilah mereka orang-orang yang merugi di kehidupan akhirat
karena mereka tetap dalam keadaan kafir hingga matinya.
2.
Orang-orang
yang beramal shalih
Kemudian setelah
seseorang itu beriman dan berilmu, ia juga harus beramal dengan ilmunya itu.
Sifat selanjutnya yang dikecualikan dari kerugian adalah orang yang beramal
shalih, وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ “dan mengerjakan amal shalih”. Dalam ayat ini Allah Ta'ala
tidak hanya menyebutkan amal, tetapi Dia juga mensyaratkan bahwa amal ini haruslah
amal yang shalih. Amal yang shalih adalah amal yang sesuai syari’at (sesuai
tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) serta ikhlas hanya
mengharap wajah Allah Ta'ala. Inilah yang terkandung dalam surat
al-Kahfi ayat 110, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Tuhannya."
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Quranil
Adhim mengatakan: “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih”
yaitu yang sesuai syari’at Allah, “janganlah ia mempersekutukan seorang pun
dalam beribadah kepada Tuhannya” yaitu yang hanya mengharapkan wajah Allah
saja tanpa mempersekutukan-Nya. Inilah dua rukun amalan yang diterima. Harus
ikhlas hanya untuk Allah dan benar-benar menurut tuntunan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam.
3.
Orang-orang
yang saling menasehati untuk menetapi kebenaran
Kemudian sifat
berikutnya yang dikecualikan dari kerugian adalah saling menasehati untuk
menetapi kebenaran وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ “saling nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran”.
Hal ini dibutuhkan karena memang untuk meraih keistiqamahan dalam beriman dan beramal diperlukan kesungguhan. Maka dari
itu dibutuhkan saling menasehati untuk selalu berada di atas kebenaran, yaitu dalam beriman dan beramal dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam.
4.
Orang-orang
yang saling menasehati untuk menetapi kesabaran
Setelah
seseorang itu beriman dan beramal dengan benar, maka ia harus bersabar. Karena
sudah menjadi sunnatullah bahwa orang yang berada di atas kebenaran pasti
akan mendapat ganguan dan rintangan, baik itu berupa perkataan ataupun
perbuatan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu
ketika mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah saja, kaumnya
menghina beliau bahkan menyakitinya, namun beliau tetap bersabar. Oleh karena
itulah dibutuhkan saling menasehati untuk selalu menetapi kesabaran dalam
beriman, beramal dan berdakwah, وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ “dan
nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran”. Syaikh as-Sa’di rahimahullah
menafsirkan bahwa maksud saling menasehati yaitu dalam mentaati Allah, menjauhi
maksiat kepada-Nya, dan dalam menghadapi takdir Allah yang memilukan. (Taisirul
Karimir Rahman hal. 893)
Maka inilah empat
sifat yang harus dimiliki oleh manusia, agar ia terhindar dari kerugian yang
telah disebutkan oleh Allah Ta'ala. Empat sifat itu adalah dengan
seseorang beriman dengan keimanan yang benar, kemudian mengamalkannya, dan
saling menasehati untuk menetapi kebenaran dan saling menasehati untuk selalu
berada di atas kesabaran.
Wajib Dituntut Ilmunya
Empat perkara inilah yang kemudian harus dituntut ilmunya oleh setiap
muslim, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi
dalam kitab beliau al-Ushul ats-Tsalatsah hal. 1, beliau rahimahullah
berkata:
“Ketahuilah
semoga Allah merahmatimu, wajib bagi kita untuk mempelajari empat perkara: yang
pertama adalah ilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Rasul-Nya, dan mengenal
agama Islam beserta dalil-dalilnya; kedua adalah mengamalkannya; ketiga adalah
mendakwahkannya; dan yang keempat adalah bersabar atas gangguan dalam menuntut
ilmu, mengamalkannya dan mendakwahkannya.”
Semoga Allah
menghindarkan kita dari kerugian dan semoga Allah menjadikan kita sebagai orang
yang memiliki empat sifat tersebut dan diberi keistikomahan di atasnya. Allahumma
amin.
Abu Ibrohim Ari bin Salimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.