Selasa, 06 Maret 2018

MALU ADALAH BAGIAN DARI IMAN


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Iman itu tujuh puluhan cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Muslim 35)
Hadits ini menjelaskan tentang keimanan, dimana keimanan itu seperti pohon yang memiliki pokok dan cabang, seperti yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim [14]: 24)

Tentang hadits di atas, Imam Muslim juga meriwayatkan dari jalur yang lain dengan nomor hadits yang sama, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu enam puluhan atau tujuh puluhan cabang; yang paling tinggi adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallaah’, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang keimanan.”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Hadits ini jelas, bahwa iman itu mencakup ucapan lisan, amalan anggota badan, keyakinan-keyakinan, akhlak, menunaikan hak Allah, dan berbuat baik kepada makhluk-Nya. Dalam hadits ini terkumpul antara cabang iman yang paling tinggi yang menjadi pokoknya dan kaidahnya, yaitu ucapan ‘Laa ilaaha illallaah’ yang mencakup keyakinan, penghambaan dan keikhlasan; juga cabang yang paling rendah yaitu menyingkirkan tulang, duri, dan setiap yang mengganggu di jalan… Cabang-cabang keimanan yang disebutkan dalam hadits ini adalah seluruh syari’at agama, baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Dan hadits ini juga jelas menunjukkan bahwa iman itu bertambah dan berkurang, sesuai dengan bertambahnya syari’at dan cabang-cabang keimanan ini (pada diri seorang hamba), serta dengan disifati atau tidaknya seorang hamba dengannya.” (At-Taudhihu wal Bayan Lisyajaratil Iman 25-26)
            Beliau juga berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan malu (dalam hadits ini), -Allahu a’lam- karena dengan rasa malu inilah (pertanda) hidupnya iman, dengan rasa malu seorang hamba meninggalkan setiap perbuatan buruk, sebagaimana dengan rasa malu inilah terlaksana setiap akhlak yang baik.” (At-Taudhihu wal Bayan Lisyajaratil Iman 26)
            Baik, selanjutnya kita akan lebih fokus pada poin malu yang merupakan bagian dari keimanan.
Malu Adalah Akhlak yang Mulia
Malu merupakan akhlak terpuji yang hendaknya senantiasa dipelihara oleh setiap muslim, karena rasa malu bisa menghalangi manusia dari perbuatan dosa dan bisa menjadikan manusia tetap berada dalam perkara kebaikan. Inilah akhlak malu yang merupakan bagian dari keimanan sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Oleh karena itulah rasa malu merupakan sifat yang sangat terpuji yang hanya akan mendatangkan kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْـحَيَاءُ لَا يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ
“Malu itu tidak mendatangkan apapun kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari 6117 dan Muslim 37)
Bahkan telah tetap dalam sebuah hadits bahwa malu adalah akhlak Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَإنَّ خُلُقَ الْإِسْلاَمِ الحَيَاءُ
“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah no. 4182 dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 2149)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُوْلَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Sesungguhnya apa yang didapat oleh manusia dari perkataan nabi yang terdahulu adalah jika kamu tidak malu, maka berbuatlah semaumu.” (HR. Bukhari 6120)
Maka sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk senantiasa berhias dengan rasa malu.
Malu Menghalangi Manusia Dari Perbuatan Dosa
Perbuatan dosa dan maksiat menyebabkan pelakunya terhina dan menderita, mendatangkan kemurkaan Allah, serta menurunkan kewibawaan seseorang di hadapan manusia. Seorang yang beriman, dengan keimanannya akan memiliki rasa malu ketika ia melakukan dosa, sehingga ia akan berpikir matang-matang sebelum berbuat hal tercela dan memperhitungkan akibat buruk yang akan menimpa dirinya. Bahkan bisa jadi ia akan merasa malu pada dirinya sendiri apabila melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukannya. Perhatikanlah sabda rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:
وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Dosa adalah yang mengganjal di hatimu dan engkau tidak suka apabila hal itu diketahui oleh manusia.” (HR. Muslim 2553)
Seorang mukmin akan merasakan ganjalan dan rasa tidak nyaman dalam dirinya jika ia melakukan dosa, ia juga enggan jika perbuatannya itu diketahui oleh manusia. Perasaan seperti ini muncul karena adanya rasa malu dalam hatinya yang merupakan bagian dari keimanan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam rahimahullah berkata: “Adapun keberadaan malu sebagai bagian dari keimanan, maka sesungguhnya rasa malu seseorang akan membuatnya menjauhi maksiat dan melaksanakan kewajiban-kewajiban syari’at. Demikianlah pengaruh keimanan kepada Allah ta'ala jika telah memenuhi hati seseorang, sesungguhnya iman akan selalu mencegah seseorang dari kemaksiatan dan mengarahkannya kepada kewajiban-kewajiban. Maka rasa malu memiliki kedudukan dalam iman dari segi pengaruh dan manfaatnya.” (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram hal 374)
Malu Dalam Diri Manusia
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan bahwa sifat malu ada dua bentuk, yaitu:
Yang pertama adalah malu yang merupakan sifat bawaan dan kebiasaan tanpa dibuat-buat, maka hal itu adalah termasuk semulia-mulia akhlak yang Allah berikan kepada seorang hamba yang ia berperilaku di atasnya. Karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 الحَيَاءُ لَا يَأْتِيْ إِلَّا بِخَيْرٍ
“Malu itu tidaklah mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”
Sesungguhnya malu mencegah dari perbuatan-perbuatan jelek dan kerendahan akhlak, serta mengarahkan kepada akhlak-akhlak yang mulia lagi tinggi. Berdasarkan hal ini maka malu merupakan tabiat keimanan. Telah diriwayatkan dari Umar radhiyallahu 'anhu bahwa beliau berkata:
مَنِ اسْتَحْيَى اِخْتَفَى، مَنِ اخْتَفَى اِتَّقَى، مَنِ اتَّقَى وُقِيَ
“Siapa yang malu maka ia akan bersembunyi, siapa yang bersembunyi berarti ia bertakwa, siapa yang bertakwa maka ia terjaga.”
Yang kedua adalah malu yang diusahakan karena mengenal Allah, dan karena pengetahuannya tentang kebesaran-Nya dan kedekatan-Nya dengan hamba-hambaNya, karena pengawasan-Nya kepadanya, dan karena ilmu-Nya yang mengetahui setiap mata yang berkhianat dan apa-apa yang disembunyikan di dalam hati. Maka ini adalah merupakan perangai iman yang paling tinggi, bahkan hal ini adalah setinggi-tingginya bentuk ihsan. (Jami’ul Ulum wal Hikam hal 51)
Malu yang Tidak pada Tempatnya
Malu yang tidak pada tempatnya adalah malu yang tercela, dimana seharusnya seorang muslim tidak perlu merasa malu dalam hal ini. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam rahimahullah berkata: “Malu itu tidak boleh menghalangi seseorang dari memperdalam ilmu agama dan bertanya tentang sesuatu yang wajib untuk ditanyakan. Maka rasa malu yang mencegah pelakunya dari melarang keburukan serta yang semisal dengannya, ini bukanlah rasa malu yang sesuai syari’at, dan bukan termasuk bagian dari keimanan. Tetapi ini adalah kelemahan, kehinaan dan kerendahan, yang sama sekali tidak dipuji pelakunya.” (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram hal 374)
Syaikh Nadhim Muhammad Sulthan hafidzahullah berkata: “Adapun malu yang menyebabkan pelakunya mengurangi hak-hak Allah, dan beribadah kepada Allah di atas kebodohan tanpa mau bertanya terhadap urusan agamanya, dan mengurangi perbuatannya menunaikan hak-hak Allah, dan hak-hak siapa saja yang meletakkan kepercayaan pada dirinya, serta hak-hak kaum muslimin, maka ini adalah malu yang tercela, karena hal ini adalah kelemahan dan melemahkan.” (Qawa’id wa Fawa’id min Arba’in an-Nawawiyah 182)
Kesimpulan
Sampai di sini jelaslah bahwa rasa malu yang terpuji akan membuat manusia selalu berada dalam ketaatan kepada Allah; menjadikan seorang pemimpin rumah tangga selalu menjaga keluarganya dari api neraka, menjadikan seorang muslimah selalu berjilbab syar’i saat keluar rumah atau saat berada di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya dikarenakan malu menampakkan auratnya, membuat seorang muslim senantiasa menuntut ilmu agamanya karena malu dengan ketidaktahuannya, hingga ia malu untuk bermaksiat kepada Allah Sang Pencipta. Inilah malu yang merupakan keimanan.
Sebaliknya, malu yang menjauhkan seseorang dari agama Allah serta menghalanginya dari ketaatan dan kebaikan adalah malu yang tercela dan bukan pada tempatnya. Maka seorang laki-laki tidak boleh malu menuntut ilmu agama, tidak boleh malu menuju masjid untuk shalat berjamaah, memelihara jenggot, meninggikan pakaiannya di atas mata kaki, dan hal-hal lainnya yang merupakan kewajibannya sebagai seorang muslim, dia tidak boleh malu melakukannya. Demikian pula seorang muslimah, tidak boleh malu menuntut ilmu agama, tidak boleh malu mengenakan busana muslimah yang syar’i, dan tidak boleh malu menjaga agamanya dan kehormatannya sebagai seorang muslimah.
Bahkan seorang muslim dan muslimah harus merasa malu ketika ia melakukan dosa dan kemaksiatan. Ia merasa malu untuk berjudi, minum minuman keras, meninggalkan shalat, meninggalkan puasa Ramadhan, korupsi, mencuri, berbohong, menipu, menuduh tanpa bukti, menampakkan aurat, berpacaran, bermain dan mendengarkan musik, merokok, menonton sesuatu yang diharamkan, dan perbuatan-perbuatan dosa dan keburukan lainnya.
Maka merupakan keimanan yang paling besar dan paling agung adalah seseorang meninggalkan kesyirikan dan dosa-dosa besar serta berbagai macam keburukan karena merasa malu kepada Allah. Karena ia sadar bahwa semua nikmat yang telah dan sedang ia rasakan hanyalah berasal dari Allah, maka ia merasa malu jika justru menggunakan nikmat yang berasal dari Allah untuk mendurhakai-Nya dan membangkang perintah-Nya. Karena ia paham bahwa hal itu adalah bentuk dari mendustakan nikmat-nikmat Allah yang amat banyak yang telah ia terima. Allah subhanahu wa ta'ala telah mengulang-ulangi sebuah ayat dalam surat ar-Rahman:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita ketakwaan dan rasa malu yang menjadikan kita senantiasa berada di dalam kebaikan. Allahumma amin.
--------
Abu Ibrohim Ari bin Salimin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.