Kamis, 04 Mei 2017

HADITS KE 04: BAHAYA BERKATA TANPA ILMU

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا فِيْ النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ )) [متفق عليه: ب 6477، م 2988]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang belum jelas (apakah itu baik atau buruk), sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari 6477 dan Muslim 2988)
Lisan merupakan salah satu anggota badan yang memiliki banyak bahaya jika tidak dikontrol dengan baik. Hadits ini menjelaskan salah satu bahaya besar lisan yang harus kita waspadai, yaitu ketika seseorang berucap tanpa ilmu, tidak jelas baginya apakah ucapannya itu baik ataukah buruk. Sebuah ucapan yang mudah saja diucapkan oleh lisan, namun ternyata berakibat sangat fatal dan mendapat hukuman yang sangat berat.
Karena memang ucapan lisan bisa menjadi penyebab seseorang masuk ke dalam neraka, sebagaimana pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu dalam hadits yang lain:
وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ.
“Tidaklah manusia tersungkur di atas wajah-wajah mereka di dalam neraka -atau di atas hidung-hidung mereka- melainkan disebabkan oleh lisan-lisan mereka.” (HR. at-Tirmidzi 2616, dinilai shahih lighairihi oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 2866)
Kisah dalam hadits berikut ini bisa kita jadikan sebagai contoh tentang ucapan lisan yang sangat berbahaya bagi pelakunya, yang bisa menggelincirkannya ke dalam neraka hanya karena sebuah ucapan yang sedikit:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bercerita:
كَانَ رَجُلاَنِ فِى بَنِى إِسْرَائِيلَ مُتَآخِيَيْنِ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِى الْعِبَادَةِ فَكَانَ لاَ يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ أَقْصِرْ. فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ! فَقَالَ: خَلِّنِى وَرَبِّى، أَبُعِثْتَ عَلَىَّ رَقِيبًا؟ فَقَالَ: وَاللَّهِ لاَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لاَ يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ. فَقُبِضَ أَرْوَاحُهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ: أَكُنْتَ بِى عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِى يَدِى قَادِرًا؟ وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِى. وَقَالَ لِلآخَرِ: اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ. قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ.
“Dahulu ada dua orang laki-laki bersaudara dari kalangan Bani Israil, salah satunya suka berbuat dosa sedangkan yang satunya rajin beribadah. Yang rajin beribadah ini selalu melihat saudaranya berbuat dosa, hingga dia pun berkata: ‘Berhentilah berbuat dosa!’. Sampailah pada suatu hari dia mendapatinya sedang melakukan perbuatan dosa, dia pun kembali berkata: ‘Berhentilah berbuat dosa!’. Ternyata saudaranya menjawab: ‘Biarkan saja aku (ini adalah urusanku) dengan Rabbku! Apakah kamu diutus sebagai pengawas bagi diriku?' Maka (karena marah) yang rajin beribadah itu berkata kepadanya: ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu' -atau dia mengatakan-, 'Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga'. Maka keduanya dicabut nyawanya oleh Allah, dan keduanya pun berkumpul di hadapan Allah Rabb semesta alam. Allah berfirman kepada yang rajin beribadah: ‘Apakah kamu tahu tentang Aku? Atau kamu punya kuasa atas apa yang ada di TanganKu?’ Dan kepada yang suka berbuat dosa itu Allah berfirman: ‘Pergi dan masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku!’, sedangkan untuk yang rajin beribadah Allah berfirman (kepada para malaikat): ‘Bawalah dia masuk ke dalam neraka’.” (HR. Abu Dawud  4901, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud 4901)
Cerita dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini menunjukkan betapa beratnya hukuman bagi siapa saja yang berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Padahal orang tadi adalah orang yang rajin beribadah, namun ia telah mendahului Allah dalam keputusan-Nya. Siapa yang bisa memastikan seseorang itu masuk surga ataupun neraka tanpa dalil yang jelas, sedangkan surga dan neraka adalah milik Allah?? Hanya Allah lah yang berhak menentukannya.
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah dalam Aqidah Thahawiyahnya mengatakan:
وَلَا نُنَزِّلُ أَحَدًا مِنْهُمْ جَنَّةً وَلَا نَارًا
“Kami tidak memastikan seorangpun dari kaum muslimin masuk surga ataupun neraka.”
Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi rahimahullah menjelaskan ucapan beliau di atas: “Beliau memaksudkan bahwa kita tidak mengatakan terhadap orang tertentu (individu) dari kaum muslimin bahwa dia termasuk penghuni surga atau penghuni neraka, kecuali orang yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa dia termasuk penghuni surga; seperti sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga radhiyallahu 'anhum.” (Syarhul Aqidah ath-Thahawiyah hal. 374)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafidzahullah berkomentar: “Kita tidak boleh memastikan seorangpun, betapapun orang itu sangat shalih dan sangat bertakwa, kita tidak mengatakannya pasti masuk surga, karena kita tidak tahu masalah ghaib. Kita juga tidak boleh memastikan seorangpun dari kaum muslimin masuk neraka, meskipun ia adalah orang-orang yang banyak berbuat dosa, kita tidak boleh menghukuminya pasti masuk neraka, karena kita tidak tahu bagaimana dia menutup amalannya dan bagaimana keadaannya ketika ia meninggal dunia. Ini (adalah hukum) bagi setiap individu kaum muslimin.” (Syarhul Aqidah ath-Thahawiyah hal. 374)
Maka kisah di atas mengandung rambu-rambu dan peringatan keras bagi para da’i atau orang-orang yang berbicara masalah agama tanpa memiliki ilmu tentangnya. Berbicara tanpa ilmu bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Hujurat [49]: 1)
Ini baru salah satu dosa lisan, masih banyak dosa-dosa lain yang disebabkan oleh lisan, semisal tuduhan palsu, persaksian palsu, mengadu domba, berdusta, menipu, mencela, mengolok-olok, dan selainnya.
Dari sinilah kita mengetahui makna ucapan Imam Bukhari tentang pentingnya berilmu sebelum berkata dan berbuat, yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di awal kitab beliau al-Ushuluts Tsalatsah. Imam Bukhari rahimahullah berkata:
بَابُ: العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلِ
“Bab: Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal.”
Oleh karena itulah hendaknya kita berusaha bagaimana menjaga lisan kita agar hanya ucapan-ucapan yang baik saja yang keluar darinya, atau jika kita merasa bahwa hal ini susah dilakukan maka diamnya kita dan menahan diri dari berbicara adalah lebih baik, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari 6475 Muslim 47)
Kesungguhan Para Ulama dalam Menjaga Lisan
Berikut ini adalah perkataan-perkataan yang telah diriwayatkan dari para ulama kaum muslimin tentang bagaimana usaha mereka dalam menjaga lisan-lisan mereka, yang kami ambil dari kitab Hayatus Salaf Bainal Qaul wal ‘Amal di bab Menjaga Lisan, karya Syaikh Ahmad bin Nashir ath-Thayyar hafidzahullah, seorang Imam dan Khatib di masjid Jami’ Abdullah bin Naufal di Zulfa, Saudi Arabia:
Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu pernah berkata:
وَالَّذِيْ لَا إِلَهَ غَيْرُهُ مَا عَلى ظَهْرِ الْأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ أَحْوَجُ إِلَى طُوْلِ سِجْنٍ مِنْ لِسَانٍ
“Demi Dzat yang tidak ada tuhan selain-Nya, tidak ada sesuatupun di atas muka bumi ini yang lebih perlu untuk dipenjara dalam waktu yang lama melebihi lisan.” (hal. 597)
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:
مَنْ لَمْ يَرَ أَنَّ كَلَامَهُ مِنْ عَمَلِهِ، وَأَنَّ خُلُقُهُ مِنْ دِيْنِهِ، هَلَكَ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ
“Barangsiapa tidak memandang bahwa ucapannya adalah bagian dari amalannya, dan bahwa akhlaknya merupakan bagian dari agamanya, maka ia akan binasa tanpa ia sadari.” (hal. 597)
Beliau juga mengatakan:
أُنْذِرُكُمْ فُضُوْلَ الكَلَامِ، بِحَسْبِ أَحَدِكُمْ مَا بَلَغَ حَاجَتَهِ
“Aku memperingatkan kalian atas banyak berbicara, hendaknya kalian itu mencukupkan berbicara sesuai keperluannya saja.” (hal. 597)
Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata:
الْمُؤْمِنُ إِذَا أَرَادَ الكَلَامَ نَظَرَ: فَإِنْ كَانَ كَلَامَهُ لَهُ تَكَلَّمَ، وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ أَمْسَكَ عَنْهُ
“Seorang mukmin itu jika ingin berbicara, ia memeriksanya; jika ucapannya bermanfaat maka ia pun berebicara, namun bila ucapannya mengandung bahaya ia pun menahan ucapannya.” (599)
Shalih bin Abi Akhdhar berkata: Aku pernah berkata kepada Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah: “Berilah aku Wasiat.” Beliau berkata: “Sedikitkanlah bicaramu.” (hal. 602)
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Dahulu sahabat-sahabat kami, kami hafal apa saja ucapannya dari Jum’at ke Jum’at berikutnya.” (hal. 602)
Al-Hasan bin Hay rahimahullah berkata: “Sungguh aku mengetahui ada seorang laki-laki yang selalu menghitung ucapannya.” Orang-orang pun mengetahui bahwa ternyata laki-laki yang diceritakannya itu adalah dia sendiri. (hal. 602)
Artha`ah bin Mundzir rahimahullah berkata: “Seorang laki-laki belajar untuk diam selama empat puluh tahun dengan cara memasukkan kerikil ke dalam mulutnya, tidaklah ia melepasnya kecuali ketika makan, minum, dan tidur.” (hal. 602)
Sa’dun ar-Razi bercerita: Aku pernah bersama Hatim al-Asham rahimahullah dan ia berbicara, namun hanya sedikit ucapannya, maka dikatakanlah kepadanya: “Bukankah tadi kamu berbicara, sehingga orang-orang bisa mengambil manfaat dari ucapanmu?” Maka ia berkata:
إِنِّيْ لَا أُحِبَّ أَنْ أَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ قَبْلَ أَنْ أَسْتَعِدَّ جَوَابَهَا لِلَّهِ، فَإِذَا قَالَ اللهُ لِيْ يَوْمَ القِيَامَةِ: لِمَ قُلْتَ كَذَا؟ قُلْتُ: يَا رَبِّيْ لِكَذَا.
“Sungguh aku tidak suka untuk berkata satu kata pun sebelum aku menyiapkan jawabannya di hadapan Allah. Jika Allah bertanya kepadaku di hari Kiamat, ‘Kenapa engkau berkata seperti itu?’ Aku akan menjawab, ‘Ya Rabb-ku, karena untuk ini...’” (hal. 604)
Bisyr bin Hasan bercerita: “Ada seseorang yang mendekat kepada Ibnu ‘Aun rahimahullah, maka beliau pun berkata: ‘Kalaulah ucapanku tidak ditulis (oleh malaikat), aku pasti sudah berbicara.” (hal. 603)
Itulah di antara riwayat dari para ulama kita yang beliau pilihkan dari riwayat-riwayat yang valid insyaallah. Semoga Allah merahmati mereka semuanya para ulama kita Salafush Shalih, sungguh mereka telah mencontohkan keteladanannya kepada kita semuanya. Semoga kita bisa meneladani para ulama kita rahimahumullah. Semoga Allah menjaga lisan-lisan kita, dan memudahkan kita untuk bisa selalu berkata yang baik atau diam.


Abu Ibrohim Ari bin Salimin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.