Jumat, 07 April 2017

HADITS KE 03: MENJAUHI PRASANGKA BURUK

Di antara ajaran Islam dalam bermuamalah dengan manusia adalah agar selalu berprasangka baik kepada orang lain. Hal ini termasuk akhlak yang mulia, karena dengan kita berprasangka baik kepada orang lain, maka kita akan menjaga diri dari mencari-cari keburukan dan kesalahannya, juga menjaga diri dari membicarakan aibnya, serta tidak menuduhnya dengan tuduhan dusta. Sehingga akan memberikan efek ketenangan dan keamanan bagi hati serta menghindarkan timbulnya kebencian.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dustanya perkataan.” (HR. Bukhari 5143 dan Muslim 2563)

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah ketika menjelaskan tentang makna menjauhi prasangka buruk dalam hadits di atas menukil ucapan Imam al-Khaththabi rahimahullah dan selainnya: “Maknanya adalah meninggalkan pelampiasan dari sebuah persangkaan buruk yang bisa membahayakan orang yang dicurigai, demikian pula persangkaan yang terus menetap di hati tanpa bukti. Yang demikian itu karena prasangka yang hanya muncul di awal adalah lintasan benak yang tidak mungkin bisa ditolak, dan yang tidak mungkin bisa ditolak maka tidaklah dihitung sebagai dosa.” (Fathul Bari 13/625)
Kemudian Ibnu Hajar al-Asqalani juga menukil ucapan Imam al-Qurtubi rahimahullah ketika menafsirkan makna menjauhi prasangka dalam surat al-Hujurat ayat 12: “Makna prasangka di sini adalah tuduhan tanpa ada sebab, seperti menuduh orang lain berbuat buruk tanpa ada bukti yang nampak yang menunjukkan akan hal itu.” (Fathul Bari 13/625)
Prasangka Buruk Menyebabkan Tajassus
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car kesalahan orang lain.” (QS. al-Hujurat [49]: 12)
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafidzahullah berkata dalam kitabnya Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah hal. 24: “Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka, karena sebagian prasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Ayat ini juga mengandung larangan berbuat tajassus. Tajassus adalah mencari-cari kejelekan-kejelekan orang lain, dan perbuatan ini biasanya muncul akibat dari adanya prasangka yang buruk.”
Kemudian masih di halaman yang sama, beliau menukil ucapan Abu Hatim Ibnu Hibban al-Busti rahimahullah dalam kitab Raudhatul ‘Uqala hal 133:
التَجَسُّسُ مِنْ شُعَبِ النِّفَاقِ، كَمَا أَنَّ حُسْنَ الظَّنِّ مِنْ شُعَبِ الإِيْمَانِ، وَالعَاقِلُ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِإِخْوَانِهِ، وَيَنْفَرِدُ بِغُمُوْمِهِ وَأَحْزَانِهِ، كَمَا أَنَّ الجَاهِلَ يُسِيْءُ الظَّنَّ بِإِخْوَانِهِ، وَلَا يُفَكِّرُ فِيْ جِنَايَاتِهِ وَأَشْجَانِهِ
“Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana prasangka baik adalah cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya dan tidak ingin membuatnya gelisah dan bersedih. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya, dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita.”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu pernah berkata:
مَا يَزَالُ الْمَسْرُوْقُ مِنْهُ يَتَظَنَّى حَتَّى يَصِيْرَ أَعْظَمُ مِنَ السَارِقِ
“Orang yang dicuri terus menerus berburuk sangka, hingga dosanya pun lebih besar daripada pencuri.” (HR. Bukhari dalam al-Adabul Mufrad 1289, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Adabil Mufrad 1289)
Perhatikanlah ucapan sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu ini, bahwasanya dosa orang yang dicuri bisa lebih besar daripada orang yang mencuri, yang demikian itu karena orang yang dicuri ini terus-menerus menduga-duga buruk kepada orang lain tanpa bukti yang jelas, hingga akhirnya pun ia terjatuh ke dalam dosa memata-matai, kemudian membenci, bahkan bukan tidak mungkin akan berlanjut kepada dosa membicarakan keburukan orang lain (ghibah), menuduh orang sembarangan, dan pertikaian. Semua hal itu akan melemahkan persaudaraan di antara kaum muslimin. Sebagaimana hal ini diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada lanjutan hadits tentang prasangka buruk ini:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
“Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dustanya perkataan, dan janganlah kalian mencari-cari kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling membenci, dan saling membelakangi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari 6724)
Bahkan meskipun kita melihat atau mengetahui ada saudara kita yang berbuat suatu keburukan menurut kita, maka tetaplah berprasangka baik kepadanya. Jangan kita terburu-buru menghukuminya dengan keburukan. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafidzahullah menukil sebuah ucapan Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi rahimahullah dari kitab al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285), bahwasanya beliau berkata:
إِذَا بَلَغَكَ عَنْ أَخِيْكَ شَيْءٌ تَكْرَهُهُ فَالْتَمِسْ لَهُ العُذْرَ جُهْدَكَ؛ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ لَهُ عُذْراً فَقُلْ فِيْ نَفْسِكَ: لَعَلَّ لِأَخِيْ عُذْراً لَا أَعْلَمُهُ.
“Apabila sampai kepadamu berita tentang saudaramu sebuah perbuatannya yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mencarikan udzur (alasan) untuknya. Apabila engkau tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri: “Mungkin saudaraku itu punya alasan yang menjadikannya boleh berbuat seperti itu yang aku tidak tahu.” (Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah hal. 25)
Mencegah Prasangka Buruk Orang Lain
Maka seorang muslim hendaknya selalu berprasangka baik kepada saudaranya, dan itu termasuk bentuk menghormatinya. Bahkan dalam Islam diajarkan tindakan mencegah prasangka buruk orang lain kepada kita. Yaitu apabila ada hal-hal yang memungkinkan orang lain menjadi berprasangka buruk kepada kita, hendaklah kita menjelaskan perkaranya.
Dari az-Zuhri rahimahullah, ia berkata: Ali bin al-Husain radhiyallahu 'anhuma mengabarkan kepadaku, bahwasanya Shafiyyah radhiyallahu 'anha istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bercerita kepadanya, bahwasanya ia pernah mendatangi rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengunjungi beliau sewaktu i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Maka Shafiyyah radhiyallahu 'anha berbincang-bincang beberapa saat dengan rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian ia pun bangkit hendak pulang, maka rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun berdiri mengantarkannya pulang. Ketika sampai di pintu masjid, tepatnya di sisi pintu kamar Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, lewatlah dua orang sahabat dari kaum Anshar, keduanya mengucapkan salam kepada rasulullah. Nabi pun berkata kepada mereka: “Santai saja, ini adalah Shafiyyah binti Huyay.” Keduanya pun berkata: “Subhanallah wahai Rasulullah.” -keduanya pun merasa sungkan-. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنَ الإِنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا
‘Sesungguhnya setan itu bergerak pada diri manusia seperti aliran darah, dan aku khawatir setan sempat melemparkan sesuatu yang buruk pada hati kalian berdua.’” (HR. Bukhari 2035 dan Muslim 2175)
Demikianlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencegah kemungkinan munculnya prasangka buruk dari orang lain, beliau menjelaskan perkaranya. Karena bisa jadi setan membisik-bisikkan keburukan kepada kedua sahabat tersebut, sehingga bisa jadi mereka akan menyangka perempuan yang bersama Nabi itu bukan mahram beliau, akhirnya menjadi sebab munculnya prasangka-prasangka yang buruk pada diri mereka.
Prasangka Buruk yang Dibolehkan
Namun tidak semua persangkaan buruk itu dilarang, terkadang boleh juga bagi kita berprasangka buruk kepada orang lain ketika nampak ada tanda-tanda keburukannya. Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam kitab tafsir beliau ketika menjelaskan ayat ke 12 dalam surat al-Hujurat berkata: “Yang membedakan antara prasangka buruk yang harus dijauhi dengan prasangka buruk yang diperbolehkan yaitu; setiap yang belum diketahui tanda-tandanya yang jelas atau sebab-sebabnya yang nampak, maka yang seperti ini wajib untuk dijauhi berprasangka buruk terhadapnya. Yang demikian itu apabila orang yang disangka adalah orang yang dikenal sebagai orang yang selalu menjaga diri dan orang baik, serta dikenal sebagai orang yang amanah secara dzahir, maka persangkaan buruk kepadanya dan menghianatinya adalah diharamkan. Sebaliknya -dibolehkan berprasangka buruk-, bagi siapa yang dikenal oleh manusia sebagai orang yang sering melakukan hal-hal yang mencurigakan dan orang yang terang-terangan berbuat berbagai keburukan.”
Hal ini juga yang dikatakan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam rahimahullah: “Adapun orang yang dikenal sering berbuat keburukan dan selalu berbuat dosa, maka kita berprasangka kepadanya sesuai yang nampak pada dirinya bagi kita. Maka tidak membahayakan sebuah persangkaan buruk kepada orang yang nampak tanda-tanda kejelekannya atau ciri-ciri keburukannya.” (Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram hal. 317)
Demikian, sampai di sini pembahasan kita. Kita berusaha selalu berprasangka baik kepada saudara kita, apalagi jika kita mengenalnya sebagai orang yang baik, bahkan meskipun dia terjatuh ke dalam kesalahan, kita tetap berusaha berprasangka baik kepadanya, mungkin saja dia punya udzur yang kita tidak tahu. Sehingga kita tidak terjatuh ke dalam dosa mencari-cari kesalahan orang lain. Manusia mana yang tidak pernah berbuat salah?? Sebagai seorang muslim, kita pasti tidak senang jika dicurigai dan dicari-cari keburukannya oleh orang lain. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan memperbaiki akhlak kita.


Abu Ibrohim Ari bin Salimin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.