Minggu, 09 April 2017

HARUSKAH ENGKAU LAMPIASKAN AMARAHMU?

Marah merupakan salah satu tabiat manusia yang dibawa sejak lahir. Ketika seorang manusia merasa terganggu atau tersakiti, hatinya merasa ingin membalas dan berontak, yang kemudian diekspresikan oleh wajahnya, dan ia ingin melampiaskan isi hatinya itu dengan lisan ataupun anggota badannya. Kurang lebih demikianlah yang kita rasakan sebagai seorang manusia ketika marah.
Marah yang tidak dikendalikan dengan baik ketika muncul akan mengarah kepada keburukan dan bahkan kerusakan. Oleh karena itu sebagai seorang muslim, hendaknya kita memahami bagaimanakah sikap kita ketika marah agar tidak menjadi dosa dan keburukan atau bahkan kebinasaan.
Marah Adalah Sifat yang Harus Diwaspadai
Ja’far bin Muhammad rahimahullah berkata: “Marah adalah kunci dari segala keburukan.” Dan pernah dikatakan kepada Ibnul Mubarak rahimahullah: “Jadikanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Maka beliau menjawab: “Meninggalkan marah.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 363)

Seseorang yang sedang dikuasai oleh marah maka yang dipikirkan olehnya hanyalah memuaskan dirinya, yaitu bagaimana ia bisa melampiaskan marahnya dan membalas dendam. Oleh karena itulah tak jarang kita melihat orang yang sedang marah mata dan wajahnya berubah merah, urat syarafnya nampak, bahkan ia bagaikan orang yang hilang akal, mulutnya mengeluarkan kata-kata yang buruk dan kotor, bahkan tangan dan anggota badannya nampak berontak dan ingin merusak. Seolah-olah ia tak peduli dengan akibat dari perbuatannya itu. Demikianlah apabila marah telah menguasai seseorang, ia bagaikan orang kesurupan yang tak bisa menguasai dirinya sendiri. Tak jarang orang yang melampiaskan amarahnya terjatuh ke dalam perbuatan dosa yang membinasakan. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan kita dari kemarahan, bahkan menjadikannya sebagai wasiat.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: أَوْصِنِيْ، قَالَ: لَا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: لَا تَغْضَبْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Janganlah kau marah!” Orang itu pun mengulang-ulangi permintaannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersabda: “Jangan marah!” (HR. Bukhari 6116)
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini laki-laki tersebut mengulangi permintaannya beberapa kali, dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengulang-ulangi wasiat beliau, ini menunjukkan bahwa marah itu mengumpulkan keburukan, sedangkan menjaga diri dari marah itu mengumpulkan kebaikan. (Jami’ul Ulum wal Hikam 362)
Demikian pula di antara wasiat para ulama mereka mengatakan: “Jauhilah marah, karena sesungguhnya marah itu bisa merusak iman sebagaimana air perasan pohon yang pahit merusak madu, dan marah itu adalah musuh bagi akal.” (Mukhtashar Minhajul Qasidin 225)
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam rahimahullah ketika menjelaskan hadits tersebut berkata: “Makna ‘janganlah marah’ ada dua: pertama yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewasiatkan orang tersebut untuk melakukan sebab-sebab yang mengharuskannya berakhlak baik, berupa kelemahlembutan, tidak tergesa-gesa, rasa malu, menahan diri, mencegah keburukan, memaklumi, memaafkan, menahan amarah dan semisalnya, karena sesungguhnya jiwa itu apabila berperilaku dengan akhlak-akhlak ini dan menjadikannya kebiasaan, maka dengannya akan tercegahlah kemarahan ketika muncul sebab-sebabnya. Yang kedua yaitu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewasiatkan kepadanya agar tidak melakukan konsekuensi marah ketika muncul, bahkan lawanlah dirinya untuk meninggalkan pelampiasannya dan meninggalkan kehendak kemarahan itu, karena sesungguhnya marah itu ketika menguasai anak Adam maka marah itulah yang akan mengendalikan dirinya dalam berbuat dan meninggalkan sesuatu. (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram 302)
Marah Adalah Lawan dari Sabar
Seseorang yang bisa menahan marah ketika muncul sebab-sebabnya -termasuk ketika mendapat musibah- maka itu menunjukkan bahwa ia memiliki sifat yang mulia, yaitu sabar. Bahkan kesabaran yang dimiliki oleh seseorang akan mendatangkan kecintaan dan keridhaan Allah subhanahu wa ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan mengujinya. Maka barangsiapa ridha; Allah pun meridhainya, dan barangsiapa marah; maka Allah pun murka kepada-Nya.” (HR. at-Tirmidzi 2396 dan Ibnu Majah 4031, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 3407)
Marah yang terpuji
Tidak semua marah itu adalah buruk, ada juga marah yang terpuji, yaitu marah karena Allah, marah yang muncul ketika syariat Allah di langgar, dicela atau dihinakan. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah teladan yang terbaik bagi kita.
مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ، وَمَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلاَّ أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهِ فَيَنْتَقِمَ للهِ بِهَا

“Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapkan pada dua pilihan melainkan beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya selama bukan merupakan dosa, dan apabila itu dosa maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya. Tidaklah beliau membalas karena dirinya, kecuali apabila kehormatan Allah subhanahu wa ta’ala dilanggar, maka beliau marah karenanya.” (HR. Bukhari 3560 dan Muslim 2327)
Maka sebagai seorang muslim kita harus memiliki kecemburuan terhadap agama kita. Hendaknya kita marah dan tidak ridha apabila kita menyaksikan sebuah maksiat, kita membenci perbuatan dan pelakunya, bahkan kita pun membenci diri kita sendiri bila kita melanggar perintah Allah atau menerjang larangan-Nya. Oleh karena itulah kita harus membenci orang-orang kafir, karena mereka telah melakukan sebesar-besar kedurhakaan kepada Allah 'azza wa jalla, yaitu perbuatan syirik dan kekufuran.
Dengan inilah Allah 'azza wa jalla mensifati para Sahabat Nabi radhiyallahu 'anhum dengan Firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya (para sahabat), mereka adalah orang-orang yang keras terhadap orang-orang kafir dan saling berkasih sayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. al-Fath: 29)
Inilah marah yang baik, yaitu marah karena Allah ta'ala, marah ketika syari’at Islam dilanggar. Dengan rasa kemarahan inilah seorang muslim akan terdorong untuk meninggalkan maksiat dan mengingkari sebuah perbuatan dosa. Bahkan ia akan termotivasi untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Akan tetapi hendaknya seorang muslim ketika beramar ma’ruf terhadap saudaranya agar melandasinya dengan rasa belas kasihan padanya, yaitu rasa tidak tega apabila saudara kita itu jatuh ke dalam siksa Allah 'azza wa jalla. Sehingga perasaan seperti ini akan membawa kepada sikap hikmah dalam berdakwah dan tetap dalam koridor yang telah diatur oleh Islam dalam beramar ma’ruf nahi munkar.
Keutamaan Menahan Marah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ
“Barangsiapa menahan marah padahal ia mampu melampiaskannya, maka Allah 'azza wa jalla akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk pada hari Kiamat kelak, kemudian Allah mempersilahkannya untuk memilih di antara bidadari yang ia sukai.” (HR. Abu Dawud 4777, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 2753)
Namun agama Islam pun memaklumi bahwasanya marah adalah tabiat manusia yang dibawa sejak lahir yang hampir tak mungkin lepas darinya. Maka Islam pun memberi tenggang waktu selama tiga hari bagi orang yang berselisih hingga tak saling tegur sapa, karena masih belum bisa menghilangkan kemarahannya.
عَنْ أَبِيْ أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِيْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari; keduanya bertemu namun yang ini berpaling dari satunya dan yang satunya juga berpaling darinya, dan yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.” (HR. Bukhari 6077 dan Muslim 2560)
Kiat Meredam Amarah
Upaya meredam amarah bukanlah hal yang mudah, butuh kekuatan iman dan kesabaran yang tinggi. Oleh karena itulah bagi orang-orang yang menahan amarahnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam katakan:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang kuat yang sejati bukanlah dengan memenangkan pergulatan, namun orang kuat sejati ialah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari 6114 dan Muslim 2609)
Berikut ini beberapa kiat yang semoga bisa membantu kita untuk meredam marah ketika muncul sebab-sebabnya:
1.      Meyakini apa yang terjadi pada kita adalah Takdir Allah ta'ala
Ketika kita marah, hendaklah kita mengingat bahwa apapun penyebab kemarahan kita, itu adalah sebuah takdir yang telah Allah tetapkan yang tidak akan bisa ditolak. Sehingga kita lebih menganggapnya sebagai sebuah ujian hidup, yang apabila kita bisa mensikapinya dengan baik dan bersabar maka akan berbuah pahala yang banyak.
2.      Diam dan tidak tergesa-gesa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Apabila seseorang di antara kalian marah maka diamlah.” (HR. Ahmad 2136, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir 4027)
Diam ketika marah baik lisan ataupun anggota badan, akan menghindarkan seseorang dari kata-kata dan perbuatan yang bisa berakibat buruk, sehingga dengan diam seseorang akan selamat dari berbagai macam keburukan akibat kemarahannya. Demikian pula hendaknya kita tidak tergesa-gesa dalam bertindak, dan lebih memilih untuk bersikap sabar dan menenangkan diri, karena hal itu juga akan menghindarkan kita dari keputusan yang belum matang dan keliru. Bahkan sikap tidak tergesa-gesa dalam bertindak merupakan sifat orang-orang yang cerdas dan berhati-hati, dan sebaliknya justru ketergesa-gesaan itu berasal dari setan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الأَنَاةُ مِنَ اللهِ وَالعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sikap berhati-hati itu berasal dari Allah, sedangkan sikap tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (HR. at-Tirmidzi 2012, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 1572)
3.      Mengingat kerusakan marah
Hendaknya ketika kita marah segeralah untuk mengingat akibat buruk dari melampiaskan amarah. Cukuplah bagi kita pelajaran tentang betapa banyak orang yang menyesal setelah melampiaskan kemarahannya. Ada yang kelewatan mencerai istrinya, memukul orang bahkan membunuhnya, merusak barang milik orang lain, merusak hubungan persaudaraan dan pertemanan, dan keburukan lainnya. Ketika hal ini terjadi, biasanya seseorang baru tersadar dengan kesalahan dan ketergesa-gesaannya itu setelah marahnya meredam. Akhirnya ia pun benar-benar menyesal.
4.      Mengingat keutamaan menahan marah
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa marah adalah sumber dari berbagai macam keburukan, maka menahan amarah adalah sumber dari banyak kebaikan dan mencegah dari banyak keburukan, bahkan di akhirat kelak dijanjikan oleh Allah dengan bidadari surga. Dengan mengingat keutamaan ini maka akan terkikislah perasaan marah itu.
5.      Berdoa minta perlindungan kepada Allah dari setan
Suatu ketika pernah ada dua orang yang bertengkar di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian salah satunya marah dan mencela temannya dengan wajah yang merah, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Sungguh aku mengetahui ada sebuah kalimat yang apabila ia mengucapkannya niscaya akan hilanglah kemarahannya.” Kalaulah dia mengucapkan “A’uudzubillaahi minasy syaithaanirrajiim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).” (HR. Bukhari 6115 dan Muslim 2610)
6.      Mengubah posisi
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَنَا: إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ
Dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada kami: “Apabila kalian marah sedangkan ia sedang berdiri maka hendaklah ia duduk, bila marahnya telah hilang (maka Alhamdulillah -penj.), namun bila marahnya belum hilang maka berbaringlah.” (HR. Abu Dawud 4784 dan Ahmad 21348 dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir 694)
Maknanya bahwa orang yang berdiri adalah bentuk bersiap-siap untuk membalas dendam, adapun duduk maka ia bentuk kurangnya persiapan untuk membalas dendam, adapun berbaring adalah bentuk posisi paling jauh dari kemungkinan untuk membalas dendam. Yang jelas perkaranya adalah menjauhi keinginan untuk membalas dendam. (Jami’ul Ulum wal Hikam 365)
7.      Menjauh dari tempat kejadian
Seorang yang marah apabila tetap di tempatnya, biasanya ia akan selalu memikirkan bagaimana melampiaskan kemarahannya, karena ia masih melihat bekas-bekas penyebab kemarahannya itu. Maka hendaknya seorang yang marah untuk menjauh dari tempat kemarahannya, sehingga akan teralihkan perhatiannya pada tempat dan suasana yang baru. Dengan hal ini diharapkan ia akan segera melupakan kemarahannya tersebut.
Tentang hal ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Banyak orang melakukan hal ini, yaitu ketika seseorang marah diapun keluar dari rumahnya, sehingga tidak terjadi sesuatu yang akan ia benci setelah kemarahannya reda.” (Syarh Riyadush Shalihin hal. 208)
Sampai di sini, jelaslah bahwa menahan amarah adalah akhlak yang terpuji. Maka kita akhiri pembahasan ini dengan menyimak nasehat dari Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah kepada kita berikut ini. Beliau berkata: “Sesungguhnya agama Islam melarang dari akhlak-akhlak yang buruk, berdasarkan hadits ‘Janganlah engkau marah’. Sedangkan larangan dari akhlak yang buruk mengharuskan perintah untuk berakhlak baik, maka biasakanlah dirimu untuk bersabar menahan diri dan tidak marah. Sungguh dahulu pernah ada seorang pedalaman Arab menarik selendang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hingga menimbulkan bekas di leher beliau, tetapi kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menoleh kepadanya dan tertawa (HR. Bukhari 6088 dan Muslim 1057). Padahal kalau seandainya ada seseorang yang melakukan hal ini kepada orang lain pasti minimalnya ia akan marah kepadanya. Maka hendaknya engkau untuk bersabar sebisa mungkin, hingga hatimu pun merasa santai, dan engkau pun bisa menjauh dari penyakit yang membawa bencana karena sebab marah, seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan yang semisalnya. Allahul Musta’an.” (Syarh Riyadush Shalihin hal. 208)
Demikianlah pembahasan tentang marah ini, semoga Allah melindungi kita dari keburukan yang diakibatkan olehnya. Hendaknya kita berusaha untuk terus memperbaiki diri, sehingga semoga Allah subhanahu wa ta'ala selalu mengaruniakan kepada kita akhlak yang baik dan menjauhkan kita dari akhlak yang buruk.


Abu Ibrohim Ari bin Salimin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.