Sabtu, 11 Maret 2017

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA YANG TELAH MENINGGAL DUNIA

Agama Islam sangat memperhatikan sekali masalah berbakti kepada orang tua, hingga meskipun orang tua kita telah meninggal dunia, kita pun masih tetap bisa berbakti kepada mereka. Bahkan mereka lebih membutuhkan bakti kita setelah meninggal dunia. Karena ketika mereka masih hidup, mereka masih bisa beramal, namun setelah mereka tiada, mereka tak bisa beramal lagi. Maka hendaknya kita perbanyak bakti kita kepada orang tua kita ketika salah satu atau keduanya telah tiada. Lalu bagaimanakah kita berbakti kepada orang tua kita yang telah meninggal dunia? Berikut inilah pemaparannya:
1.      Mendoakannya dan memohonkan ampun untuknya
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim 1631)

Demikian juga sabda beliau yang lain:
إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِيْ الجَنَّةِ فَيَقُوْلُ أَنَّى هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
 “Sesungguhnya seseorang benar-benar diangkat derajatnya di surga, maka ia pun bertanya: ‘Bagaimana ini bisa terjadi?’ dikatakanlah kepadanya: ‘Ini adalah sebab permohonan ampun anakmu untukmu.’” (HR. Ibnu Majah 3660, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 1617)
Dengan kabar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini, maka berbahagialah para orang tua yang memiliki anak shalih, apalagi jika anaknya banyak dan semuanya shalih. Sehingga hendaknya kita berusaha untuk mendidik anak-anak kita agar menjadi anak yang shalih. Dan hendaknya juga kita sebagai seorang anak untuk banyak memohonkan ampun bagi orang tua kita, baik ketika mereka masih hidup, apalagi ketika sudah meninggal dunia.
2.      Membayarkan hutangnya dan memenuhi nadzar atau wasiatnya
Apabila orang tua kita yang telah meninggal dunia memiliki hutang, nadzar, atau wasiat, maka kita sebagai ahli warisnya diperintahkan untuk menunaikannya. Sehingga ketika kita menunaikannya berarti kita telah melakukan perbuatan berbakti kepadanya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, sedangkan ia memiliki hutang puasa Ramadhan selama satu bulan, apakah aku membayarkan hutang puasanya?’ Beliau bersabda: ‘Ya, hutang kepada Allah lebih pantas untuk ditunaikan.’” (HR. Bukhari 1953 dan Muslim 1148)
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Siapa saja yang meninggal dan masih memiliki hutang puasa, maka walinya yang membayar hutang puasanya.” (HR. Bukhari 1952 dan Muslim 1147)
Dalam hadits yang lain disebutkan tentang wasiat:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّىَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ: نَعَمْ
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwasanya ada seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal secara mendadak dan belum berwasiat. Aku yakin jika dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia akan mendapat pahala jika aku bersedekah atas namanya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya.” (HR. Bukhari 1388 dan Muslim 1004, dan ini lafadz Imam Muslim)
Dalam hadits yang lain disebutkan tentang nadzar:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، اسْتَفْتَى رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ فَقَالَ: اقْضِهِ عَنْهَا.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu 'anhu meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan ia memiliki nadzar.” Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tunaikanlah nadzarnya!” (HR. Bukhari 2761)
Imam Bukhari rahimahullah ketika meriwayatkan hadits ini, beliau memberikan judul:
باب مَا يُسْتَحَبُّ لِمَنْ يُتَوَفَّى فَجْأَةً أَنْ يَتَصَدَّقُوا عَنْهُ وَقَضَاءِ النُّذُورِ عَنِ الْمَيِّتِ
“Bab Disukai bagi Orang yang Mati Tiba-tiba agar (Ahli Warisnya) Bersedekah atasnya dan Menunaikan Nadzar si Mayit”
Akan tetapi apabila nadzar atau wasiatnya mengandung perbuatan dosa, maka kita tidak boleh menunaikannya. Karena ketaatan kepada orang tua hanyalah pada hal yang baik atau yang tidak mengandung perbuatan dosa.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَة.
“Wajib mendengar dan taat kepada pemimpin kaum muslimin, baik pada hal yang disukai ataupun yang dibenci, selama bukan dalam kemaksiatan, jika disuruh untuk berbuat maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Bukhari 7144, Muslim 1839, Abu Dawud 2628, at-Tirmidzi 1707)
Imam at-Tirmidzi ketika meriwayatkan hadits ini beliau memberikan judul bab:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الخَالِقِ
“Tidak Ada Ketaatan kepada Makhluk untuk Memaksiati Allah”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah maka lakukanlah, dan siapa bernadzar untuk memaksiati-Nya maka janganlah ia lakukan.” (HR. Bukhari 6696)
3.      Bersedekah dengan niat atasnya
Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
عَنِ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ: فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِي الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwasanya Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu, ibunya meninggal dunia, sedangkan Sa’ad ketika itu tidak sedang bersamanya. Maka Sa’ad berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal ketika aku tidak sedang bersamanya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu atas namanya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya (bermanfaat).” Sa’ad berkata: ‘Kalau begitu aku bersaksi kepadamu bahwa kebun yang siap berbuah milikku aku sedekahkan atas namanya’.” (HR. al-Bukhari: 2756)
4.      Menyambung silaturahim dengan kerabat
Berdasarkan hadits berikut ini:
Dari Abdullah bin Dinar rahimahullah, dari Abdullah bin Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhuma, bahwasanya ada seorang Arab pedalaman yang bertemu dengannya di sebuah jalan di Mekah, maka Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepadanya dan membawanya di atas keledai yang sebelumnya dia jadikan sebagai kendaraannya, dan beliau pun memberikannya kepadanya beserta sebuah imamah yang sebelumnya beliau pakai di kepalanya. Ibnu Dinar berkata: “Kami pun berkata kepada beliau: ‘Semoga Allah memperbaiki keadaanmu, sesungguhnya dia itu hanyalah seorang Arab pedalaman, pasti ia ridha dengan pemberian yang sedikit.’” Abdullah bin Umar berkata: “Sesungguhnya bapaknya orang ini adalah orang yang dicintai oleh Umar bin Khattab (bapak beliau), sedangkan aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ
“Kebaikan yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang-orang yang disenangi bapaknya.” (HR. Muslim 2552)
5.      Beramal shalih
Secara umum semua amal shalih seorang anak akan sampai pahalanya kepada orang tua. Hal ini karena seseorang tidak akan mendapatkan kecuali apa yang telah diusahakannya, sedangkan anak adalah hasil usaha orang tua. Allah ta'ala berfirman:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya.” (QS. an-Najm [59]: 39)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ، وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ.
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya makanan paling baik yang kalian makan adalah yang berasal dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah bagian dari usaha kalian.” (HR. at-Tirmidzi 1358, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 1566)
Fatwa Ulama
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam sebuah ceramahnya pernah ditanya tentang berbakti kepada orang tua yang telah meninggal dunia. Penanya berkata:
يَا فَضِيْلَةُ الشَّيْخ، مَا الأَعْمَالُ الَّتِيْ أَبُرُّ بِهَا وَالِدَيَّ بَعْدَ وَفَاتِهِ غَيْرَ الدُّعَاءِ؟
“Wahai Syaikh yang kami muliakan, amalan apakah yang bisa aku lakukan untuk berbakti kepada orang tuaku yang telah meninggal dunia selain berdoa?”
Beliau rahimahullah menjawab:
نَعَمْ، الصَّدَقَةُ، الاِسْتِغْفَارُ، صِلَةُ الرَّحِمِ، إِكْرَامُ الصَّدِيْقِ، كُلُّ هَذِهِ مِمَّا يُبَرُّ بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ، لَكِنِ الدُّعَاءَ وَالاِسْتِغْفَاَرَ لَهُمَا أَفْضَلُ شَيْءٍ، فَعَلَيْكَ أَخِيْ الْمُسْلِمُ بِالدُّعَاءِ لِأَمْوَاتِكَ، وَاجْعَلِ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ لِنَفْسِكَ، فَأَنْتَ مُحْتَاجٌ لِلْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ، وَسَيَأْتِيْكَ اليَوْمُ الَّذِيْ تَتَمَنَّى أَنَّ فِيْ صَفْحَةِ حَسَنَاتِكَ حَسَنَةً وَاحِدَةً. نَعَمْ.
“Ya: bersedekah, memohonkan ampun, menyambung silaturahim, memuliakan temannya, semua ini adalah termasuk berbakti kepada orang tua setelah meninggalnya. Akan tetapi mendoakannya dan memohonkan ampun untuknya adalah yang paling utama. Maka hendaknya engkau wahai saudaraku muslim untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal (dari keluargamu), dan engkau menjadikan amalan shalih adalah untukmu, karena engkau membutuhkan amal shalih. Dan akan datang kepadamu hari dimana engkau mengharapkan di catatan amalanmu ada satu kebaikan. Demikian.”
Rekaman dan tulisan fatwa beliau ini bisa anda buka dan download di situs: http://binothaimeen.net/content/13468.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk anak yang shalih dan mengaruniakan kepada kita anak-anak yang shalih dan shalihah. Allahumma amin. Wallahu a’lam.

Abu Ibrohim Ari bin Salimin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.