Dari anas radhiyallahu
‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian (dengan keimanan yang sempurna),
sehingga ia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai
(kebaikan) untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Siapakah
orangnya yang tidak menginginkan kebaikan?? Masing-masing kita pasti
menginginkan kebaikan bagi diri kita sendiri, baik saat ini maupun saat yang
akan datang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita juga menginginkan
kebaikan itu didapatkan oleh orang lain ataukah tidak?
Bagaimanakah seseorang
itu mencintai kebaikan bagi dirinya dan bagi saudaranya, sehingga ia mendapatkan
kesempurnaan iman sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas? Melalui tulisan
ini kami ingin menguraikan makna hadits di atas dengan disertai penjelasan dari
para ulama, semoga dapat menjadi motivasi bagi kita dalam mengamalkan kebaikan
sebagaimana pelajaran yang terkandung dalam hadits di atas.
Penjelasan Lafadz Hadits
Dalam kitab Syarhul Arba’in an-Nawawiyah
hal. 184-187 Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
menjelaskan lafadz hadits di atas dengan mengatakan bahwa peniadaan iman di sini
bukanlah untuk meniadakan pokok keimanan, tapi untuk menunjukkan tidak
sempurnanya keimanan seseorang. Beliau berkata, “Perkataan Rasulullah: ‘tidak
beriman salah seorang di antara kalian’, maksudnya tidak sempurna keimanan
salah seorang di antara kita, peniadaan di sini adalah pada kesempurnaannya,
bukan meniadakan pokok keimanannya.”
Lebih lanjut, beliau menjelaskan lagi makna
lafadz hadits setelahnya dengan mengatakan, “Perkataan Rasulullah: ‘untuk
saudaranya’ yaitu untuk orang mukmin, ‘sebagaimana ia mencintai untuk
dirinya’ maksudnya yang berupa perkara kebaikan, mencegah keburukan,
pembelaan terhadap kehormatan, dan lain sebagainya.”
Wajibnya Mencintai Kebaikan untuk Saudara Seiman dan
Menjauhi Sifat Dengki
Hadits
di atas menunjukkan salah satu ajaran Islam yang mencakup kebaikan yang banyak,
dimana hadits ini memotivasi seorang muslim untuk menyebarkan kebaikan dan
menghindari sifat dengki. Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah ketika
menjelaskan makna hadits ini berkata, “Hadits yang sedang kita bicarakan ini
menunjukkan bahwa seorang mukmin harus merasa senang ketika ada saudara seiman
merasa senang, dan menginginkan agar saudara seimannya juga mendapatkan
kebaikan sebagaimana ia merasa senang bila mendapatkannya. Semua perilaku ini
hanya datang dari hati yang bersih dari sifat dendam, curang dan dengki.
Sesungguhnya kedengkian akan membuat pelakunya merasa benci jika ada seseorang
lebih baik darinya atau menyamainya dalam kebaikan, karena ia senang bila
mengungguli manusia dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, dan hanya
dirinya saja yang memiliki kelebihan-kelebihan itu. Adapun iman, maka
menghendaki sebaliknya dan bertentangan dengan hal itu, yaitu ia senang jika
seluruh kaum mukminin mendapatkan apa yang Allah ta'ala karuniakan kepadanya
yang berupa kebaikan, tanpa menguranginya sedikitpun. (Jami’ul Ulum wal
Hikam hal. 306)
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami, bahwa orang yang memiliki sifat dengki tidak
akan bisa merealisasikan rasa cintanya terhadap kebaikan yang ada pada orang lain
sebagaimana ia mencintai kebaikan itu ada pada dirinya, karena memang
kedengkian merupakan lawan dari kecintaan.
Ustadz
Firanda hafidzahullah di dalam bukunya yang berjudul “Sepenggal
Catatan dari Madinah ke Radio Rodja” hal. 107 menukil perkataan Syaikh
Shalih Alu Syaikh hafidzahullah ketika menyampaikan ceramah beliau yang
berjudul Huququl Ukhuwah, beliau berkata, ”Hadits di atas
mencakup akidah, perkataan dan perbuatan, yaitu mencakup seluruh amal shalih,
baik keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Hendaknya seorang mukmin
menginginkan agar saudaranya memiliki akidah yang benar seperti akidah yang ia
yakini.
Sikap
seperti ini hukumnya wajib. Hendaknya ia juga menginginkan agar saudaranya
shalat sebagaimana ia shalat. Sekiranya ia senang jika saudaranya tidak berada
di atas petunjuk yang benar, maka ia telah berdosa dan telah hilang darinya
keimanan sempurna yang wajib. Jika ia senang bila ada saudaranya yang berada di
atas akidah yang batil dan tidak sesuai dengan sunnah, yaitu akidah bid’ah,
maka telah ternafikan darinya kesempurnaan iman yang wajib.
Demikian
pula halnya dengan seluruh peribadatan dan seluruh jenis sikap menjauhi perkara
yang diharamkan. Jika ia senang bila dirinya terbebas dari praktik suap, tetapi
ia senang jika saudaranya yang terjatuh dalam praktik suap, hingga dia merasa
unggul, lebih shalih dari saudaranya tersebut, maka telah ternafikan
kesempurnaan iman yang wajib bagi dirinya. Dia telah berdosa.” (Selesai
perkataan Syaikh)
Dengki
adalah sikap seseorang membenci orang lain ketika ia mendapatkan kenikmatan,
dan ia menginginkan agar nikmat tersebut hilang dari orang itu. Jika sikap
seperti ini melekat pada diri seseorang, maka berarti seolah-olah ia telah
memprotes Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat yang Ia karuniakan
kepada hamba-Nya yang lain. Sudah menjadi keharusan tentunya bagi setiap muslim
untuk menjauhi sifat dengki yang tercela ini, dimana sifat ini akan membawa
kepada keburukan yang banyak, seperti permusuhan, menolak kebenaran dan perbuatan
menyakiti orang lain.
Macam-macam Dengki
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam rahimahullah
ketika menjelaskan salah satu hadits dalam kitab kitab Bulughul Maram
mengatakan bahwa dengki itu bertingkat-tingkat berdasarkan pelakunya:
Pertama, orang
yang berusaha menghilangkan nikmat dari orang yang ia dengki padanya dan
merealisasikannya dengan perkataan dan perbuatan.
Kedua, orang
yang berusaha agar nikmat tersebut berpindah kepada dirinya.
Ketiga, orang
yang berusaha menghilangkan nikmat tersebut saja tanpa menginginkan
berpindahnya nikmat itu kepada dirinya.
Keempat, orang
yang jika dengki kepada selainnya tidak melakukan konsekuensi dari
kedengkiannya itu, dan tidak merealisasikannya dengan perkataan maupun
perbuatan. Dalam hal ini terdapat riwayat dari al-Hasan rahimahullah bahwa
kedengkian yang seperti ini pelakunya tidak berdosa.
Kelima, orang
yang jika mendapati kedengkian dalam dirinya ia berusaha untuk menghilangkannya,
dan berusaha berbuat baik kepadanya dengan segera memulainya. Ia juga berusaha
untuk selalu mendoakannya dengan kebaikan dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya.
Ia senantiasa berusaha untuk menghilangkan sifat dengki yang ada pada dirinya
sampai berganti dengan kecintaan kepada orang yang ia merasa dengki kepadanya
itu.
Jenis
yang kelima ini adalah merupakan derajat keimanan yang paling tinggi, dan
pelakunya adalah seorang mukmin yang sempurna yang mencintai kebaikan untuk
saudaranya sebagaimana ia mencintai jika kebaikan itu ada pada dirinya.
-Selesai perkataan Syaikh-. (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, Bab Tarhib
min Masawiil Akhlaq hal. 299)
اللَّهُّمَّ اهْدِنَا لِأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لَا
يَهْدِيْ لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنَّا سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ
عَنَّا سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami untuk berhias dengan akhlak
terbaik, tidak ada yang bisa menunjukkan kami kepada hal itu kecuali engkau,
dan jauhkanlah kami dari akhlak yang buruk dan tidak ada yang bisa menjauhkan
kami darinya kecuali engkau.”
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Rabb
kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan akhirat, dan lindungilah
kami dari siksa api neraka.”
Abu
Ibrohim Ari bin Salimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.