عَنْ أَبِيْ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ
النُّبُوَّةِ الْأُوْلَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Dari
Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Ia berkata, “Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya apa yang didapat oleh manusia
dari perkataan nabi yang terdahulu adalah jika kamu tidak malu, maka berbuatlah
semaumu.” (HR. Bukhari
6120)
Malu adalah merupakan akhlak yang mulia. Perasaan malu bisa menghalangi manusia
dari perbuatan dosa yang tercela. Malu bisa menjadikan manusia senantiasa tetap berada dalam
perkara kebaikan. Malu adalah merupakan bagian dari keimanan. Malu adalah
akhlak terpuji yang hendaknya senantiasa dipelihara oleh setiap muslim.
Hadits
di atas merupakan perkataan singkat yang keluar dari lisan Nabi yang mulia ‘alaihis
shalatu wassalam, namun
mempunyai makna yang sangat agung. Di dalamnya terdapat pelajaran yang sangat
berharga bagi umatnya. Di dalamnya mencakup akhlak mulia yang bernilai pahala.
Malu Adalah Akhlaknya Para Nabi
Syaikh Nadhim Muhammad Sulthan hafidzahullah berkata menjelaskan
hadits di atas, dalam kitabnya: “Perkataan Rasulullah: ‘Sesungguhnya apa
yang didapat oleh manusia dari perkataan nabi yang terdahulu’, maksudnya
yaitu bahwa hikmah kenabian yang agung ini menyeru kepada rasa malu, yang
manusia saling mewarisi dari nabi-nabi mereka dari generasi ke generasi hingga
sampai kepada awal umat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka di antara seruan para nabi terdahulu ‘alaihimussalam kepada umatnya
adalah berakhlak dengan rasa malu. Dari sini diketahui akan pentingnya hikmah yang agung ini,
yang mana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan
kita untuk berakhlak dengannya.”
(Qawa’id wa Fawa’id min Arba’in an-Nawawiyah)
Bahkan telah tetap
dalam sebuah hadits bahwa malu adalah akhlak Islam. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَإنَّ خُلُقَ الْإِسْلاَمِ
الحَيَاءُ
“Sesungguhnya setiap agama itu
memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah no. 4182
dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’)
Malu Menghalangi Manusia Dari Perbuatan Dosa
Perbuatan dosa adalah perbuatan tercela yang harus
dijauhi oleh setiap manusia. Sesungguhnya dosa akan menyebabkan pelakunya terhina dan menderita, serta
menurunkan kewibawaan
seseorang di hadapan manusia. Seseorang yang besar rasa malunya kepada sesama
manusia, apalagi malu kepada Allah, maka ia akan berpikir matang-matang sebelum
berbuat hal tercela dan memperhitungkan akibat buruk yang akan menimpa dirinya.
Bahkan ia akan merasa malu kepada dirinya sendiri apabila melakukan perbuatan yang
seharusnya tidak dilakukannya.
Karena itulah rasa malu adalah sifat yang sangat terpuji yang hanya akan
mendatangkan kebaikan sebagaimana disebut dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْـحَيَاءُ لَا يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ
“Malu itu tidak mendatangkan apapun
kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itulah
sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk senantiasa berhias dengan rasa
malu, sehingga akan menjadikannya bisa selalu berada dalam kebaikan.
Makna Malu Dalam Hadits
Syaikh Nadhim hafidzahullah berkata menjelaskan penggalan hadits
berikutnya; “jika kamu tidak malu, maka berbuatlah semaumu.” Kalimat
perintah dalam hadits ini mengandung tiga makna; yang pertama bermakna perintah
yang mengandung peringatan, maka maknanya menjadi; jika kamu tak mempunyai rasa
malu, silahkan berbuatlah sesukamu, karena kamu pasti akan mendapatkan akibat
dan balasan dari apa yang kamu kerjakan, baik di dunia ataupun akhirat ataupun
kedua-duanya.
Yang kedua adalah perintah yang menunjukkan kebolehan, maknanya adalah jika
amalan yang diperbuat itu tidak menjadikanmu malu kepada Allah, kepada rasul-Nya,
tidak pula kepada manusia, maka silahkan lakukan, karena hal itu adalah boleh
bagimu.
Yang ketiga adalah perintah yang menunjukkan pilihan, yaitu bahwa pencegah
dari perbuatan apa-apa yang tercela dari seorang hamba adalah malu, maka barangsiapa yang hilang
rasa malunya, maka hal itu menjerumuskannya ke dalam maksiat kepada Allah. (Qawa’id
wa Fawa’id min Arba’in an-Nawawiyah)
Adapun makna yang kuat adalah makna yang pertama, dan ini adalah pendapat
kebanyakan ulama, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
dalam Madarijus Salikin 2/270.
Malu Dalam Diri Manusia:
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah ketika menjelaskan hadits
ini mengatakan bahwa malu ada dua yaitu:
yang pertama adalah malu yang merupakan sifat bawaan dan
kebiasaan tanpa dibuat-buat, maka hal itu adalah termasuk semulia-mulia
akhlak yang Allah berikan kepada seorang hamba yang ia berperilaku di atasnya.
Karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الحَيَاءُ لَا يَأْتِيْ إِلَّا بِخَيْرٍ
“Malu
itu tidaklah mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”
Yang kedua adalah malu yang diusahakan karena mengenal Allah, dan karena
pengetahuannya tentang kebesaran-Nya dan kedekatan-Nya dengan hamba-hambaNya,
karena pengawasan-Nya kepadanya, dan karena ilmu-Nya yang mengetahui setiap
mata yang berkhianat dan apa-apa yang disembunyikan di dalam hati. Maka ini
adalah merupakan perangai iman yang paling tinggi, bahkan hal ini adalah
setinggi-tingginya bentuk ihsan.
(Jami’ul Ulum wal Hikam)
Syaikh Nadhim Muhammad Sulthan hafidzahullah berkata menjelaskan tentang malu yang buruk: “Adapun malu
yang menyebabkan pelakunya mengurangi hak-hak Allah, dan beribadah kepada Allah
di atas kebodohan tanpa mau bertanya terhadap urusan agamanya, dan mengurangi
perbuatannya menunaikan hak-hak Allah, dan hak-hak siapa saja yang meletakkan
kepercayaan pada dirinya, serta hak-hak kaum muslimin, maka ini adalah malu
yang tercela, karena hal ini adalah melemahkan.” (Qawa’id wa Fawa’id min
Arba’in an-Nawawiyah)
Sampai di sini jelaslah bahwa rasa malu yang terpuji akan
membuat manusia selalu berada dalam ketaatan kepada Allah; menjadikan seorang pemimpin
rumah tangga selalu menjaga keluarganya dari api neraka, menjadikan seorang
muslimah selalu berjilbab syar’i saat keluar rumah atau saat berada di hadapan
laki-laki yang bukan mahramnya karena malu menampakkan auratnya, membuat
seorang muslim senantiasa menuntut ilmu agamanya karena malu dengan
ketidaktahuannya, hingga ia malu untuk bermaksiat kepada Allah Sang Pencipta. Inilah malu yang merupakan
keimanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَان
“Iman itu ada enam
puluhan cabang, dan malu adalah merupakan cabang dari keimanan.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Pelajaran yang diambil dari hadits:
Berikut ini beberapa faedah yang
bisa kita ambil dari hadits di atas:
1. Hadits menunjukkan bahwa rasa malu
seluruhnya adalah merupakan kebaikan. Semakin besar rasa malu seseorang, maka
semakin besar kebaikannya dan banyak manfaatnya. Begitu juga sebaliknya,
semakin kecil rasa malu seseorang, maka akan semakin kecil pula kebaikannya dan
sedikit manfaatnya.
2. Malu merupakan akhlak mulia yang
diwarisi dari para nabi terdahulu.
3. Malu yang mencegah dari seseorang dari
ketaatan kepada Allah, mempelajari agama dan mencari kebenaran, maka hal itu
adalah malu yang buruk yang hendaknya dijauhi oleh setiap muslim.
4. Malu mencegah pelakunya
dari perbuatan tercela.
Semoga Allah mengkaruniakan kepada kita
ketakwaan dan rasa malu yang menjadikan kita senantiasa berada dalam kebaikan. Allahumma
amin.
Abu Ibrohim Ari bin Salimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.