Jumat, 03 Februari 2017

CINTAILAH KEBAIKAN UNTUKMU DAN SAUDARAMU

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dari anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian (dengan keimanan yang sempurna), sehingga ia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai (kebaikan) untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Siapakah orangnya yang tidak menginginkan kebaikan?? Masing-masing kita pasti menginginkan kebaikan bagi diri kita sendiri, baik saat ini maupun saat yang akan datang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita juga menginginkan kebaikan itu didapatkan oleh orang lain ataukah tidak?
Bagaimanakah seseorang itu mencintai kebaikan bagi dirinya dan bagi saudaranya, sehingga ia mendapatkan kesempurnaan iman sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas? Melalui tulisan ini kami ingin menguraikan makna hadits di atas dengan disertai penjelasan dari para ulama, semoga dapat menjadi motivasi bagi kita dalam mengamalkan kebaikan sebagaimana pelajaran yang terkandung dalam hadits di atas.
Penjelasan Lafadz Hadits
Dalam kitab Syarhul Arba’in an-Nawawiyah hal. 184-187 Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan lafadz hadits di atas dengan mengatakan bahwa peniadaan iman di sini bukanlah untuk meniadakan pokok keimanan, tapi untuk menunjukkan tidak sempurnanya keimanan seseorang. Beliau berkata, “Perkataan Rasulullah: ‘tidak beriman salah seorang di antara kalian’, maksudnya tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kita, peniadaan di sini adalah pada kesempurnaannya, bukan meniadakan pokok keimanannya.”
Lebih lanjut, beliau menjelaskan lagi makna lafadz hadits setelahnya dengan mengatakan, “Perkataan Rasulullah: ‘untuk saudaranya’ yaitu untuk orang mukmin, ‘sebagaimana ia mencintai untuk dirinya’ maksudnya yang berupa perkara kebaikan, mencegah keburukan, pembelaan terhadap kehormatan, dan lain sebagainya.”
Wajibnya Mencintai Kebaikan untuk Saudara Seiman dan Menjauhi Sifat Dengki
Hadits di atas menunjukkan salah satu ajaran Islam yang mencakup kebaikan yang banyak, dimana hadits ini memotivasi seorang muslim untuk menyebarkan kebaikan dan menghindari sifat dengki. Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah ketika menjelaskan makna hadits ini berkata, “Hadits yang sedang kita bicarakan ini menunjukkan bahwa seorang mukmin harus merasa senang ketika ada saudara seiman merasa senang, dan menginginkan agar saudara seimannya juga mendapatkan kebaikan sebagaimana ia merasa senang bila mendapatkannya. Semua perilaku ini hanya datang dari hati yang bersih dari sifat dendam, curang dan dengki. Sesungguhnya kedengkian akan membuat pelakunya merasa benci jika ada seseorang lebih baik darinya atau menyamainya dalam kebaikan, karena ia senang bila mengungguli manusia dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, dan hanya dirinya saja yang memiliki kelebihan-kelebihan itu. Adapun iman, maka menghendaki sebaliknya dan bertentangan dengan hal itu, yaitu ia senang jika seluruh kaum mukminin mendapatkan apa yang Allah ta'ala karuniakan kepadanya yang berupa kebaikan, tanpa menguranginya sedikitpun. (Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 306)
Dari penjelasan di atas dapat dipahami, bahwa orang yang memiliki sifat dengki tidak akan bisa merealisasikan rasa cintanya terhadap kebaikan yang ada pada orang lain sebagaimana ia mencintai kebaikan itu ada pada dirinya, karena memang kedengkian merupakan lawan dari kecintaan.
Ustadz Firanda hafidzahullah di dalam bukunya yang berjudul “Sepenggal Catatan dari Madinah ke Radio Rodja” hal. 107 menukil perkataan Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah ketika menyampaikan ceramah beliau yang berjudul Huququl Ukhuwah, beliau berkata, ”Hadits di atas mencakup akidah, perkataan dan perbuatan, yaitu mencakup seluruh amal shalih, baik keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Hendaknya seorang mukmin menginginkan agar saudaranya memiliki akidah yang benar seperti akidah yang ia yakini.
Sikap seperti ini hukumnya wajib. Hendaknya ia juga menginginkan agar saudaranya shalat sebagaimana ia shalat. Sekiranya ia senang jika saudaranya tidak berada di atas petunjuk yang benar, maka ia telah berdosa dan telah hilang darinya keimanan sempurna yang wajib. Jika ia senang bila ada saudaranya yang berada di atas akidah yang batil dan tidak sesuai dengan sunnah, yaitu akidah bid’ah, maka telah ternafikan darinya kesempurnaan iman yang wajib.
Demikian pula halnya dengan seluruh peribadatan dan seluruh jenis sikap menjauhi perkara yang diharamkan. Jika ia senang bila dirinya terbebas dari praktik suap, tetapi ia senang jika saudaranya yang terjatuh dalam praktik suap, hingga dia merasa unggul, lebih shalih dari saudaranya tersebut, maka telah ternafikan kesempurnaan iman yang wajib bagi dirinya. Dia telah berdosa.” (Selesai perkataan Syaikh)
Dengki adalah sikap seseorang membenci orang lain ketika ia mendapatkan kenikmatan, dan ia menginginkan agar nikmat tersebut hilang dari orang itu. Jika sikap seperti ini melekat pada diri seseorang, maka berarti seolah-olah ia telah memprotes Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat yang Ia karuniakan kepada hamba-Nya yang lain. Sudah menjadi keharusan tentunya bagi setiap muslim untuk menjauhi sifat dengki yang tercela ini, dimana sifat ini akan membawa kepada keburukan yang banyak, seperti permusuhan, menolak kebenaran dan perbuatan menyakiti orang lain.
Macam-macam Dengki
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam rahimahullah ketika menjelaskan salah satu hadits dalam kitab kitab Bulughul Maram mengatakan bahwa dengki itu bertingkat-tingkat berdasarkan pelakunya:
Pertama, orang yang berusaha menghilangkan nikmat dari orang yang ia dengki padanya dan merealisasikannya dengan perkataan dan perbuatan.
Kedua, orang yang berusaha agar nikmat tersebut berpindah kepada dirinya.
Ketiga, orang yang berusaha menghilangkan nikmat tersebut saja tanpa menginginkan berpindahnya nikmat itu kepada dirinya.
Keempat, orang yang jika dengki kepada selainnya tidak melakukan konsekuensi dari kedengkiannya itu, dan tidak merealisasikannya dengan perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini terdapat riwayat dari al-Hasan rahimahullah bahwa kedengkian yang seperti ini pelakunya tidak berdosa.
Kelima, orang yang jika mendapati kedengkian dalam dirinya ia berusaha untuk menghilangkannya, dan berusaha berbuat baik kepadanya dengan segera memulainya. Ia juga berusaha untuk selalu mendoakannya dengan kebaikan dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Ia senantiasa berusaha untuk menghilangkan sifat dengki yang ada pada dirinya sampai berganti dengan kecintaan kepada orang yang ia merasa dengki kepadanya itu.
Jenis yang kelima ini adalah merupakan derajat keimanan yang paling tinggi, dan pelakunya adalah seorang mukmin yang sempurna yang mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai jika kebaikan itu ada pada dirinya. -Selesai perkataan Syaikh-. (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, Bab Tarhib min Masawiil Akhlaq hal. 299)
اللَّهُّمَّ اهْدِنَا لِأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لَا يَهْدِيْ لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنَّا سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنَّا سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami untuk berhias dengan akhlak terbaik, tidak ada yang bisa menunjukkan kami kepada hal itu kecuali engkau, dan jauhkanlah kami dari akhlak yang buruk dan tidak ada yang bisa menjauhkan kami darinya kecuali engkau.”
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Rabb kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan akhirat, dan lindungilah kami dari siksa api neraka.”


Abu Ibrohim Ari bin Salimin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.