Senin, 06 Februari 2017

JIKA TAK MALU BERBUATLAH SESUKAMU

عَنْ أَبِيْ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُوْلَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya apa yang didapat oleh manusia dari perkataan nabi yang terdahulu adalah jika kamu tidak malu, maka berbuatlah semaumu.” (HR. Bukhari 6120)
Malu adalah merupakan akhlak yang mulia. Perasaan malu bisa menghalangi manusia dari perbuatan dosa yang tercela. Malu bisa menjadikan manusia senantiasa tetap berada dalam perkara kebaikan. Malu adalah merupakan bagian dari keimanan. Malu adalah akhlak terpuji yang hendaknya senantiasa dipelihara oleh setiap muslim.

Hadits di atas merupakan perkataan singkat yang keluar dari lisan Nabi yang mulia ‘alaihis shalatu wassalam, namun mempunyai makna yang sangat agung. Di dalamnya terdapat pelajaran yang sangat berharga bagi umatnya. Di dalamnya mencakup akhlak mulia yang bernilai pahala.
Malu Adalah Akhlaknya Para Nabi
Syaikh Nadhim Muhammad Sulthan hafidzahullah berkata menjelaskan hadits di atas, dalam kitabnya: “Perkataan Rasulullah: ‘Sesungguhnya apa yang didapat oleh manusia dari perkataan nabi yang terdahulu’, maksudnya yaitu bahwa hikmah kenabian yang agung ini menyeru kepada rasa malu, yang manusia saling mewarisi dari nabi-nabi mereka dari generasi ke generasi hingga sampai kepada awal umat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka di antara seruan para nabi terdahulu ‘alaihimussalam kepada umatnya adalah berakhlak dengan rasa malu. Dari sini diketahui akan pentingnya hikmah yang agung ini, yang mana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk berakhlak dengannya.” (Qawa’id wa Fawa’id min Arba’in an-Nawawiyah)
Bahkan telah tetap dalam sebuah hadits bahwa malu adalah akhlak Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَإنَّ خُلُقَ الْإِسْلاَمِ الحَيَاءُ
“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah no. 4182 dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’)
Malu Menghalangi Manusia Dari Perbuatan Dosa
Perbuatan dosa adalah perbuatan tercela yang harus dijauhi oleh setiap manusia. Sesungguhnya dosa akan menyebabkan pelakunya terhina dan menderita, serta menurunkan kewibawaan seseorang di hadapan manusia. Seseorang yang besar rasa malunya kepada sesama manusia, apalagi malu kepada Allah, maka ia akan berpikir matang-matang sebelum berbuat hal tercela dan memperhitungkan akibat buruk yang akan menimpa dirinya. Bahkan ia akan merasa malu kepada dirinya sendiri apabila melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukannya. Karena itulah rasa malu adalah sifat yang sangat terpuji yang hanya akan mendatangkan kebaikan sebagaimana disebut dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْـحَيَاءُ لَا يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ
“Malu itu tidak mendatangkan apapun kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itulah sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk senantiasa berhias dengan rasa malu, sehingga akan menjadikannya bisa selalu berada dalam kebaikan.
Makna Malu Dalam Hadits
Syaikh Nadhim hafidzahullah berkata menjelaskan penggalan hadits berikutnya; “jika kamu tidak malu, maka berbuatlah semaumu.” Kalimat perintah dalam hadits ini mengandung tiga makna; yang pertama bermakna perintah yang mengandung peringatan, maka maknanya menjadi; jika kamu tak mempunyai rasa malu, silahkan berbuatlah sesukamu, karena kamu pasti akan mendapatkan akibat dan balasan dari apa yang kamu kerjakan, baik di dunia ataupun akhirat ataupun kedua-duanya.
Yang kedua adalah perintah yang menunjukkan kebolehan, maknanya adalah jika amalan yang diperbuat itu tidak menjadikanmu malu kepada Allah, kepada rasul-Nya, tidak pula kepada manusia, maka silahkan lakukan, karena hal itu adalah boleh bagimu.
Yang ketiga adalah perintah yang menunjukkan pilihan, yaitu bahwa pencegah dari perbuatan apa-apa yang tercela dari seorang hamba adalah malu, maka barangsiapa yang hilang rasa malunya, maka hal itu menjerumuskannya ke dalam maksiat kepada Allah. (Qawa’id wa Fawa’id min Arba’in an-Nawawiyah)
Adapun makna yang kuat adalah makna yang pertama, dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Madarijus Salikin 2/270.
Malu Dalam Diri Manusia:
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa malu ada dua yaitu:
yang pertama adalah malu yang merupakan sifat bawaan dan kebiasaan tanpa dibuat-buat, maka hal itu adalah termasuk semulia-mulia akhlak yang Allah berikan kepada seorang hamba yang ia berperilaku di atasnya. Karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 الحَيَاءُ لَا يَأْتِيْ إِلَّا بِخَيْرٍ
“Malu itu tidaklah mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”
Yang kedua adalah malu yang diusahakan karena mengenal Allah, dan karena pengetahuannya tentang kebesaran-Nya dan kedekatan-Nya dengan hamba-hambaNya, karena pengawasan-Nya kepadanya, dan karena ilmu-Nya yang mengetahui setiap mata yang berkhianat dan apa-apa yang disembunyikan di dalam hati. Maka ini adalah merupakan perangai iman yang paling tinggi, bahkan hal ini adalah setinggi-tingginya bentuk ihsan. (Jami’ul Ulum wal Hikam)
Syaikh Nadhim Muhammad Sulthan hafidzahullah berkata menjelaskan tentang malu yang buruk: “Adapun malu yang menyebabkan pelakunya mengurangi hak-hak Allah, dan beribadah kepada Allah di atas kebodohan tanpa mau bertanya terhadap urusan agamanya, dan mengurangi perbuatannya menunaikan hak-hak Allah, dan hak-hak siapa saja yang meletakkan kepercayaan pada dirinya, serta hak-hak kaum muslimin, maka ini adalah malu yang tercela, karena hal ini adalah melemahkan.” (Qawa’id wa Fawa’id min Arba’in an-Nawawiyah)
Sampai di sini jelaslah bahwa rasa malu yang terpuji akan membuat manusia selalu berada dalam ketaatan kepada Allah; menjadikan seorang pemimpin rumah tangga selalu menjaga keluarganya dari api neraka, menjadikan seorang muslimah selalu berjilbab syar’i saat keluar rumah atau saat berada di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya karena malu menampakkan auratnya, membuat seorang muslim senantiasa menuntut ilmu agamanya karena malu dengan ketidaktahuannya, hingga ia malu untuk bermaksiat kepada Allah Sang Pencipta. Inilah malu yang merupakan keimanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَان
“Iman itu ada enam puluhan cabang, dan malu adalah merupakan cabang dari keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pelajaran yang diambil dari hadits:
Berikut ini beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits di atas:
1.    Hadits menunjukkan bahwa rasa malu seluruhnya adalah merupakan kebaikan. Semakin besar rasa malu seseorang, maka semakin besar kebaikannya dan banyak manfaatnya. Begitu juga sebaliknya, semakin kecil rasa malu seseorang, maka akan semakin kecil pula kebaikannya dan sedikit manfaatnya.
2.    Malu merupakan akhlak mulia yang diwarisi dari para nabi terdahulu.
3.    Malu yang mencegah dari seseorang dari ketaatan kepada Allah, mempelajari agama dan mencari kebenaran, maka hal itu adalah malu yang buruk yang hendaknya dijauhi oleh setiap muslim.
4.    Malu mencegah pelakunya dari perbuatan tercela.
Semoga Allah mengkaruniakan kepada kita ketakwaan dan rasa malu yang menjadikan kita senantiasa berada dalam kebaikan. Allahumma amin.


Abu Ibrohim Ari bin Salimin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.